REPUBLIKA.CO.ID,JEDDAH -- Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi yang tergabung ke dalam Daerah Kerja Bandara Jeddah-Madinah adalah petugas yang paling sering berpindah. Saya dan empat kawan jurnalis lain termasuk dalam Tim Media Center Haji (MCH) yang tergabung bersama petugas Daker Bandara.
Fase pertama, kami bertugas di Madinah untuk melayani kedatangan jamaah haji gelombang pertama di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Azis (AMAA) Madinah.
Fase kedua, kami bergerak ke Jeddah untuk melayani jamaah haji Indonesia yang datang melalui gelombang kedua. Pada puncak haji nanti, kami bertugas di Arafah untuk melayani jamaah calon haji saat wukuf.
Selama di Jeddah, saya dan petugas lainnya tinggal di Hotel Diwal Al-Aseer di Distrik Al-Nuzha. Di hotel ini, 90 persen pekerjanya berasal dari India. Beberapa lainnya adalah warga Indonesia yang tinggal di Jeddah dan penduduk asli Jeddah.
Tak ayal, setiap hari saya berjumpa dengan para pekerja dari India ini. Saat mereka membersihkan kamar, mengangkut sampah, atau sedang membereskan ruang makan di aula hotel.
Keseringan bertemu membuat saya dan para pekerja ini hapal wajah. Awalnya, dialog bisu sekadar memberikan isyarat tangan untuk mengerti tindakan satu sama lain.
Namun, lama kelamaan, saya memberanikan diri berbicara dengan mereka. Ahh…ternyata sebagian dari mereka paham bahasa Arab harian (amiyah) layaknya penduduk Jeddah.
Kepada para pekerja India yang paham bahasa Arab Amiyah, dialog satu dua kosa kata bisa memberikan petunjuk apa yang ingin saya bicarakan atau saya minta. Praktis, mereka pun seperti senang dengan saya. Mungkin karena petugas lainnya tidak pernah berbicara dengan mereka.
Suatu ketika, saat para pegawai hotel dari India ini membersihkan kamar 607, kamar tempat saya dan delapan petugas haji lainnya menginap, saya terlibat percakapan yang cukup menarik. Awalnya, saya meminta penggantian handuk.
“Mansyaqah,” kata saya sambil menunjukkan handuk putih bertuliskan nama hotel tersebut.
Salah satu dari mereka kemudian mengatakan, “Ah, tauliya.” Saya merasa tidak mengerti apa itu arti tauliya. Saya pun mendebat dalam bahasa Arab seadanya.
“Mansyaqah bukan tauliya.” Salah satu rekan yang mengatakan tauliya kemudian menjelaskan kepada saya bahwa tauliya adalah bahasa Hindi untuk handuk.
“Ah.. Hindi ya,” kata saya.
Perbincangan berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan saya mengenai bahasa Hindi. Mohammad Latief, Salman, dan Osman, nama ketiga pekerja yang terlibat dialog dengan saya kemudian mengajari beberapa kosa kata bahasa Hindi yang memiliki kesamaan dengan bahasa Indonesia.
Saya juga diajari bahasa Hindi untuk menanyakan nama, dan saling menyapa. Latief tampak yang paling luas wawasannya terhadap Indonesia.