Ahad 20 Sep 2015 20:47 WIB

Derita Para Haji di Pulau 'Tanpa Istirahat'

Rep: Alwi Shabab/ Red: Didi Purwadi
Pulau Onrust
Foto: Republika.co.id/Agung Sasongko
Pulau Onrust

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bukan hanya banyak jalan ke Roma, tapi juga ke Onrust. Salah satu pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, ini terletak 14 km dari Jakarta. Pulau yang semula luasnya 12 ha ini kini tinggal 7,5 ha akibat abrasi.

Mendatangi pulau yang dijadikan taman arkeologi itu dapat dilakukan melalui tiga pelabuhan: Marina Ancol, Angke, dan Muara Kamal. Yang paling dekat melalui pelabuhan Muara Kamal. Hanya dengan menggunakan perahu tradisional dapat dicapai dalam waktu 10 sampai 15 menit saja. Maklum, Onrust yang dalam Belanda berarti 'tanpa istirahat' ini merupakan kawasan Kepulauan Seribu yang terdekat dengan pantai Jakarta.

Pada musim haji sekarang sengaja kita ketengahkan pulau ini karena merupakan salah satu pulau yang punya nilai sejarah dalam lintasan haji di tanah air. Kisah Onrust dimulai pada awal abad ke-20, ketika terjadi wabah pes di Malang, Jawa Timur, yang semula diduga berasal dari kapal yang membawa jamaah haji dari tanah suci. Ternyata wabah akibat tikus ini berasal dari kapal yang mengangkut beras dari Rangon (kini Yangon), Birma (kini Myammar).

Tapi, bagaimana pun Belanda tetap ingin mengkarantina para jamaah haji sepulang mereka dari tanah suci. Dan Onrust yang dianggap sebagai pulau terpencil dipilih sebagai tempat itu. Selama karantina mereka harus tinggal di pulau ini selama lima hari. Bahkan kadang-kadang lebih lama lagi tergantung kesehatan para jamaah bersangkutan.

Pembangunan karantina Onrust menelan biaya 607 ribu gulden, yaitu sebanyak 35 barak yang dapat menampung 3500 jamaah haji. Begitu rampung dibangun pada 1911, Onrust langsung digunakan saat itu pula. Pulau tempat pertama kali VOC mendarat sebelum menaklukkan Jakarta pada abad ke-17 ini selama 29 tahun (sampai 1940) berubah fungsi menjadi karantina haji.

Kini di pulau tersebut masih dijumpai sisa-sisa barak yang sudah porak poranda. Yang masih berdiri kokoh hanya sebuah rumah yang dulu digunakan untuk para dokter karantina haji.

Basirun Prawiroatmodjo, yang menjadi jurutulis karantina haji di tahun 1919 dan bertugas di pulau ini hingga 1958, ketika diwawancarai Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta mengemukakan, para haji yang pulang dari tanah suci pertama kali turun di Pulau Cipir yang bersebelahan dengan Onrust. Para jamaah satu persatu dicek oleh dua orang petugas.

Usai pemeriksaan, para haji itu harus menanggalkan seluruh pakaiannya, diganti dengan pakaian karantina. Kemudian mereka dipersilahkan mandi dan diperiksa oleh seorang dokter. Bila ada yang membawa bibit penyakit menular diharuskan tinggal di stasiun karantina di Pulau Cipir. Karantina ini dibangun bersamaan dengan karantina di Pulau Onrust (1911).

Selama pemeriksaan kesehatan, pakaian pribadi serta kapal pengangkut difumigasi. Para jamaah yang dinyatakan sehat kemudian dibawa ke Onrust. Mereka naik eretan (getek) dari ujung dermaga Pulau Cipir ke Pulau Onrust. Eretan ini hanya dapat menampung 8-10 orang. Menaikinya cukup berbahaya lebih-lebih bila air pasang. Tapi, sejauh ini tidak ada laporan pernah terjadi kecelakaan seperti terseret gelombang saat menaikinya.

Setiba di Onrust dari Cipir, para jamaah haji kembali diperiksa kesehatannya oleh seorang dokter. Terdapat pula enam orang petugas bangsa Belanda yang turut menangani jamaah haji. Mereka hanya berada di Onrust saat-saat musim haji.

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement