Sabtu 26 Sep 2015 19:09 WIB
insiden mina

'Ibu Meninggal di Pangkuan Saya'

Jamaah haji dari berbagai negara melintasi terowongan di Mina, menuju lokasi melontar jumrah.
Foto: AP/Mosa'ab Elshamy
Jamaah haji dari berbagai negara melintasi terowongan di Mina, menuju lokasi melontar jumrah.

Oleh: EH Ismail, wartawan Republika.co.id, dari Tanah Suci

 

MAKKAH -- Sarnan Sarifuddin (58 tahun) masih mengenakan baju ihram saat ditemui Republika di maktab nomor 7 di Mina, Arab Saudi, Jumat (25/9) malam. Matanya menatap nanar.

Saat bicara, tenggorokannya tercekat. Namun, lelaki yang akrab disapa Sarif ini seperti menahan diri agar airmatanya tak tumpah.

Perlahan, Sarif menceritakan peristiwa yang terjadi, Kamis (24/9) pagi. Pagi itu, rombongan jamaah haji yang tergabung dalam kelompok terbang JKS 61 baru selesai sarapan.

Tak lama, kloter yang didominasi jamaah haji asal Kabupaten dan Kota Bandung, Jawa Barat ini memutuskan untuk melakukan lempar jumrah aqabah. Pertimbangannya, hari masih pagi dan sinar matahari belum terlalu terik.

Rombongan berjalan secara berkelompok. Ada lima kelompok besar yang keluar dari maktab dan menyelusuri Jalan King Fahd. Setelah berjalan sekitar dua kilometer, jamaah berbelok ke Jalan 223.

“Sebagian rombongan tetap lurus, saya dan rombongan belok ke kiri karena ada tentara yang menyuruh kami belok,” kata Sarif. Jalan 223 bertemu di pertigaan dengan Jalan 204.

Menurut Sarif, saat sampai pertigaan tersebut gelombang jamaah dari arah belakang Jalan 223 dan dari Jalan 204 arah sebelah kiri semakin deras. Semua menuju ke satu titik di ujung Jalan 204 yang mengarah ke jamarat. “Kondisinya macet, berhenti karena di ujung jalan nggak bisa jalan.”

Jamaah Saling Dorong

Dalam keterangan resmi petugas keamanan yang dilansir media lokal, di ujung Jalan 204 itu petugas mekakukan sistem buka-tutup untuk mengatur arus jamaah masuk dan jamaah keluar.

Namun, pengaturan buyar saat jamaah dari kedua arah merangsek masuk. Ribuan jamaah dari arah jamarat masuk ke Jakur 204, sementara ribuan jamaah dari Jalur 204 dan Jalur 223 mendesak masuk ke arah jamarat.

“Lalu terjadi dorong-dorongan dan jamaah haji Afrika yang berbadan hitam dan besar-besar tidak peduli sama kanan-kirinya,” ujar Sarif mengisahkan.

Kelompok jamaah yang dikenali Sarif sebagai jamaah dari benua Afrika bentrok dari dua arah. Jamaah haji berbadan kecil, termasuk jamaah haji Indonesia, terpental-pental dan terombang-ambing. Mereka yang menggunakan kursi roda terjatuh dan langsung terinjak dengan kursi roda berada di atas tubuhnya. Sarif yang berada di tengah himpitan manusia bersama sang istri, R Maemunah binti Dasa Sasmita (53) dan Imas Masyitoh binti Suhandi (jamaah haji asal Ciamis), memutuskan untuk menepi.

Ketiganya berupaya memanjat tembok lantaran pintu-pintu maktab jamaah haji asing semuanya tertutup. Sarif berhasil naik ke tembok kemudian berusaha menarik istri dan Imas. Saat tangan Sarif sudah berpegangan dengan Maemunah, sang istri yang bergandengan dengan Imas terseret ke tengah-tengah jamaah yang bergerak panik tak menentu. Dia sempat melihat sang istri dan Imas terjatuh. Keduanya terinjak-injak jamaah yang terus-menerus meneriakkan kalimat takbir dan istighfar dengan histeris.

“Melihat itu saya sudah tak sadar lagi apa yang terjadi,” ujar Sarif.

Meninggal di Pangkuan

Sinar matahari yang menyengat membuat Sarif kemudian tersadar. Dia merasa sudah berada di atas tembok selama tiga sampai empat jam. Teringat istri, dia memutuskan turun dan mencari Maemunah di antara puluhan jasad manusia yang tergeletak tak bergerak. Sarif akhirnya menemukan tubuh Maemunah ada di atas tumpukan jenazah jamaah haji asing dengan Imas berada di sampingnya.

“Saya peluk ibu. Tubuhnya sudah kaku, keras. Saya pukul-pukul, ibu tidak bangun. Ibu Imas juga begitu,” kata Sarif. Sarif berhenti bercerita. Dia menahan air matanya tumpah.

Dalam upaya menyadarkan sang istri dan Imas, Sarif mengambil dua tas kecil tempat paspor dan kartu identitas Maemunah dan Imas. Dia juga melihat sejumlah jamaah haji lainnya tergeletak tak bergerak. Tapi, Sarif tak mengenali mereka sebagai jamaah satu rombongan.

Saat Sarif masih menangis dan memangku Maemunah, sejumlah petugas kesehatan ditemani para askar datang dan membawa jenazah di sekelilingnya. Setelah itu, petugas juga mengambil jenazah Maemunah dan Imas. Upaya Sarif mempertahankan jasad istrinya gagal. Dia pun ditinggalkan dalam kebingungan.

“Ibu meninggal di pangkuan saya, Bu Imas juga sudah meninggal di samping ibu,” kata Sarif. Air mata muncul di ujung mata warga Parunglesang, Banjar, Jawa Barat ini.

Pada sore hari, Sarif memutuskan mencari jalan pulang ke maktab. Dengan beberapa kali tersesat dan hampir pingsan, Sarif ditolong tiga pemuda Arab sehingga berhasil kembali ke maktabnya. Sampai saat ini, Sarif masih tak ingin mengganti kain ihram yang dikenakannya.

Mencari Istrinya yang Hilang

Maemunah dan Imas tidak termasuk dalam daftar resmi jamaah haji Indonesia yang menjadi korban insiden maut di Mina. Nasib mereka sama dengan 11 jamaah kloter JKS 61 yang dilaporkan telah wafat berdasarkan kesaksian pandangan mata rekan-rekan satu rombongannya.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, saat ini petugas PPIH Arab Saudi masih terus bekerja melakukan identifikasi korban dari jamaah haji Indonesia. Menurut Amirul Haj, pemerintah tidak bisa cepat-cepat mempublikasikan informasi mengenai korban sebelum terkumpul lengkap data-data medisnya. Data-data inilah yang bisa memastikan jamaah tersebut termasuk ke dalam korban wafat insiden maut Mina atau tidak.

Berdasarkan ilmu kesehatan, kata Menag, ada regulasi atau ketentuan bagaimana mempublikasikan seseorang yang dinyatakan wafat. Apalagi, wafatnya orang tersebut karena peristiwa yang tidak lazim atau yang luar biasa terkait musibah. Ditambah faktor peristiwa terjadi di negara lain, maka ada pula ketentuan yang berazaskan kehati-hatian.

Seseorang baru bisa dinyatakan wafat kalau pihak yang menyatakan itu benar-benar meyakini dan bisa dipertanggungjawabkan secara medis. “Kalaupun ada yang bersaksi keluarga sendiri atau istrinya atau anaknya atau suaminya si fulan telah wafat, di pangkuan saya atau di pelukan saya, tapi jika yang bersangkutan tidak bisa menjelaskan tanda-tanda wafatnya seseorang, maka secara regulasi kesaksian seperti itu masih belum bisa digunakan untuk menyatakan seseorang telah wafat,” kata Menag.

Sarif tak peduli apa keterangan yang disampaikan Menag. Dia hanya meminta kepastian di mana keberadaan istrinya kini. Kalaupun memang benar telah wafat, Sarif mencoba menerimanya dengan ikhlas. “Saya hanya ingin tahu di mana istri saya sekarang. Masih ada gelang identitas haji di tangannya, kenapa sulit sekali menemukan istri saya?” ujar Sarif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement