REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ratna Puspita dari Tanah Suci
Namun, Kakek Rasbu menolak karena ingin memiliki pengalaman melontar jumrah. Apalagi, sore itu jalan ke arah Jamarat juga tidak padat. Begitu pula kondisi di Jamarat yang sangat lengang.
Keduanya pun berjalan kaki sejauh lima kilometer dari tenda di Maktab 40, Mina, ke Jamarat. Keduanya selesai melontar jumrah setelah maghrib.
Selama perjalanan pulang, Kakek Rasbu sempat berhenti sekali untuk beristirahat. Nenek pun memberikan pisang dan air minum yang sudah disiapkan sebagai perbekalan melontar jumrah. Kakek mengunyah pisang itu dengan lahap.
Setelah sampai di Tenda Misi Haji, saya sempat mendaftarkan pasangan ini agar diantar oleh petugas perlindungan jamaah. Namun, Mas Sunu berpendapat kami sebaiknya mengantarkan daripada keduanya menunggu terlalu lama.
Saya sepakat. Saya juga mengajak seorang jamaah lain asal JKG 15 untuk berjalan pulang karena tendanya searah dengan pasangan kakek-nenek ini. Mas Sunu mendorong Kakek Rasbu yang duduk di kursi roda. Saya menggandeng lengan Nenek Gendok.
Setelah mengantarkan ke tenda Kloter JKG 15, kami berjalan sekitar 500 meter ke tenda di Maktab 40. Tiba di sana, seorang pria langsung memeluk Kakek Rasbu sambil menangis. “Bapaaaaak,” serunya. Pria itu menantu Kakek Rasbu-Nenek Gendok.
Sementara Nenek Gendok mencium saya sembari berterima kasih. Hanya saja, saya tidak tahu bagaimana mengungkapkan, saya lah yang seharusnya berterima kasih karena sudah diberikan pelajaran soal cinta dan kesetiaan hingga di ujung usia.