REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Seminar dan loka karya (Semiloka) Reformasi dan Reinterpretasi Kewajiban Melaksanakan Ibadah Haji bagi Umat Islam merekomendasikan sejumlah poin penting dalam meminimalisir persoalan penyelenggaraan haji.
Baik Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri Kementerian Agama RI maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah –selaku penyelenggara semiloka ini-- menyepakati sejumlah hal terkait dengan kriteria Istitha’ah berikut implementasinya maupun tata kelola haji di tanah air.
Sekretaris Panitia Semiloka, Dr H Abu Rokhmad mengatakan, hasil semiloka ini telah direkomendasikan MUI kepada Pemerintah guna melakukan sejumlah perbaikan pada penyelenggaraan ibadah haji ke depan.
Menurut Abu Rokhmad, dalam hal kriteria Istitha’ah dan implementasinya, yang dibahas Komisi I, menghasilkan kesepakatan tentang definisi Istitha’ah, yakni kondisi di mana seseorang terhalang/tertutup melakukan ibadah haji untuk beberapa waktu yang diakibatkan adanya beberapa faktor.
“Syarat melaksanakan ibadah haji adalah Istitha’ah. Jika terdapat hal yang menghambat Istitha’ah, maka haji menjadi tidak wajib,” ungkapnya, di Semarang, Kamis (5/11).
Secara kriteria, indikasi istitho’ah adalah kondisi di mana jamaah haji mampu melaksanakan ibadah haji dengan mandiri. Kesaksian mampu melaksanakan haji mandiri tersebut dinyatakan oleh Tim Dokter Ahli, setidaknya tiga orang dokter daerah saat sebelum manasik haji daerah.
Adapun hal- hal yang menghambat ketidakmampuan melaksanakan ibadah haji secara mandiri adalah tidak Istitha’ah materi atau calon jamaah haji tidak memiliki biaya ONH, tidak Istitha’ah badaniyah seperti memakai kursi roda, gagal ginjal, tidak mampu naik kendaraan jarak jauh/lama dan hamil.
“Selain itu juga tidak Isttitha’ah psikis seperti gila dan pikun (hilang ingatan) serta tidak Istitha’ah perjalanan karena tidak ada transportasi, kuota, tidak dapat visa dan lainnya,” jelasnya.