Jumat 29 Jul 2016 11:18 WIB

Gelar Haji dan Pengakuan Turki Usmaniyah

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko
Tenda jamaah haji di Mina ada tahun 1928.
Foto: Gahetna.nl
Tenda jamaah haji di Mina ada tahun 1928.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bisa dikatakan masyarakat di kawasan Nusantara mulai bergelombang menunaikan ibadah haji ketika terjalin hubingan diplomatik antara kerajaan di Nusantara dengan Kesultanan Tuski Usmani. Saat itu Turki Usmani menjadi satu satunya pusat pemrintahan Islam, yang juga menguasai dua kota suci, Makkah dan Madinah.

Keadaan itu mendorong keinginan raja Islam di Nusantara untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperoleh legitimasi gelar ‘Sultan’. Memperoleh pengakuan dari Turki Usmani sebagai penguasa yang sah pada wilayah kekuasaanya masin-masing. Gelar ‘Sultan’ dan ‘Haji’ menjadi simbol kebesaran bagi seorang penguasa atau memperoleh kedudukan terhormat bagi rakyat biasa yag telah menyandang gelar haji.

Nuruddin Ar Raniri sebagai ulama penasehat kesultanan Aceh, menunaikan ibadah haji mengikuti pamannya, Muhammad Jealani Hamid Ar Raniri, di zaman pemerintahan Sultan Mansyur Perak (1579-1858). Selain menunaikan ibadah haji ia juga menuntut ilmu pengetahuan agama di Tanah Suci. Kelak ia dikenal sebagai seorang ulama dengan pengetahuan keagamaan yang cukup memadai.

Cerita lain seorang wanita Kristiani yang diselamatkan ketika Padang diserang bajak laut Prancis pada abad 18, dengan tulus  ia mengucapkan dua kalimah syahadah untuk masuk Islam. Ia pun bersedia dinikahi dengan Raja Bujang penguasan di Trumon (Aceh). Mereka berdua pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah.

 

Kisah yang berbeda seorang pengelana Cina, Cheng-Ho, dengan rombongan melakukan pelawatan sepanjang pantai Laut Cina Selatan menuju Campa, Aceh tepatnya di Lamuri (1414), Bengal, Calicut, Malabar hingga ke Hadramaut terus ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu rombongan Cheng-Ho meneruskan perjalanan membawa syiar Islam hingga sampai di Malindi (Afrika).

Maulana Haji Sarifuddin memberikan pembelajaran agama Islam terhadap semua keluarga Raden Rahmat di Surabaya. Riwayat-riwayat ini mengisahkan Sultan atau pembesar di Nusantara pada zamannya menggelarkan haji yang disandangkan untuk mendapat penghormatan yang tinggi dari masyarakat terhadap para raja dan pembesar ini. Seperti halnya seorang guru yang telah menunaikan ibadah haji di tanah suci.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement