Ahad 31 Jul 2016 17:25 WIB

Bangsa Eropa Berencana Hentikan Perkembangan Islam di Nusantara

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko
Jejak Islam di Nusantara.
Foto: Ist
Jejak Islam di Nusantara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat kekuatan Muslim ketiga di Nusantara, setelah Malaka dan Aceh adalah Jawa. Antara 1513 dan 1528, sebuah koalisi kerajaan Muslim berhasil mengalahkan kekuatan Majapahit yang akhirnya menjadi dua kerajaan baru, Kerajaan Banten di wilayah barat dan Mataram di tengah dan timur.

Pada masa Sultan Agung (1613-1645) dan Sultan Mangkurat (1646-1677), Mataram mereduksi peran raja-raja lokal yang menyokong kebesaran Mataram. Pelan tapi pasti Mataram menjelma menjadi sebuah imperium yang menguasai Jawa. Setelah bangsa Eropa mulai mengenal Nusantara pada akhir abad ke 15 Masehi, mereka melihat wilayah ini mulai didominasi oleh orang-orang Muslim baik pendatang maupun pribumi.

Bangsa Eropa lantas menyusun rencana untuk menghentikan perkembangan Islam di Nusantara. Salah satu jalan bekerjasama dengan kerajaan-kerajaan yang masih menganut Hindu atau Budha untuk memerangi wilayah kerajaan-kerajaan Islam. Portugis, misalnya menjalin kerjasama dengan Sunda Padjadjaran, membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun hal itu tak berlangsung lama, setelah putra Aceh berdarah Arab, bernama Fathahillah berhasil menguasai pangkalan itu.

Setelah Portugis, pada gilirannya Belanda mulai mencaplok beberapa kawasan Bandar. Sama seperti Portugis, Belanda memiliki agenda Politik anti Islam. Bahkan di awal perjalanannya ke Nusantara Belanda selalu menghalangi kapal yang membawa muslim berhaji. Kapal-kapal dagang Belanda mulai sejak 1598 hingga 1600 berturut-turut singgah di Nusantara untuk berdagang sehingga berdirilah Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).

Dalam perjalanannya VOC menerapkan sistem monopoli yang menimbulkan perlawanan dari masyarakat di Nusantara. VOC merebut Ambon pada 1605, mengambil Batavia pada 1615 dan Banda pada 1621. VOC meluluskan langkahnya menguasai perairan dagang Nusantara dengan peperangan laut. VOC pun berhasil menyingkirkan dominasi Portugis dengan bantuan Aceh dan Johor di Malaka pada 1641.

Namun perebutan wilayah dengan Portugis tak lantas membuat VOC Belanda kooperatif dengan muslim di Nusantara. Belanda masih melarang para calon haji yang ikut kapal-kapal VOC. Terkadang mereka juga melarang jemaah haji yang pulang dari Makkah ketika akan mendarat di Batavia. Usaha serupa dilakukan Gubernur Jendral Daendels pada 1810. Ia membuat aturan para jemaah haji harus memakai pas  jalan kalau mereka mau berhaji.

Untuk alasan keamanan, permintaan izin ini juga dipersulit oleh pemerintah Hindia Belanda, sehingga banyak jamaah yang haji yang berangkat melalui Singapura yang berada dalam kekuasaan Inggris. Pada 1811 hingga 1816 pemerintah Inggris di bawah kekuasaan Gubernur Jendral Raffles mengambil alih Nusantara.

Penyelenggaraan haji menjadi salah satu perhatiannya. Sama seperti pemerintahan Eropa sebelumnya, Raffles juga memiliki pandangan negatif tentang haji dan Arab secara umum. Raffles melihat haji dan juga ulama yang pulang dari tanah suci memiliki pengaruh politik sehingga menjadi biang keladi kerusuhan di Nusantara, yang kelak menjadi bara perlawanan masyarakat di berbagai wilayah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement