Oleh: Alwi Shahab, Wartawan Senior Republika
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika menunaikan ibadah haji tahun 1974, pengaturan pemondokan jamaah haji di Tanah Suci masih menggunakan sistem Syekh. Karena keberangkatan saya menunaikan rukun Islam kelima dibiayai Menteri Sosial HMS Mintaredja, maka saya diminta agar memilih syekh yang berasal dari Bogor, tempat kelahiran Mintaredja.
Setibanya kami di Bandara King Abdel Azis, Jeddah, perut seluruh penumpang sudah sangat keroncongan. Kecuali minum, kami tidak mendapatkan makanan apa-apa selama 10 jam penerbangan. Entah karena apa, makanan untuk para jamaah di pesawat rupanya sudah basi.
Pramugara dan pramugari yang kala itu kebanyakan orang Barat, tidak berani memberikannya pada penumpang. Mereka, termasuk para pilot dan seluruh crew pesawat, juga ikut puasa. Saya ingat betul, begitu tiba di Jeddah, seorang ibu berusia 60-an langsung pingsan dan harus dibawa ke rumah sakit.
Dalam suasana lapar, kami masih harus menunggu berjam-jam di bagian imigrasi bandara Jeddah. Berbeda dengan masa sekarang, dimana para jamaah yang tiba di Jeddah, bisa langsung pergi ke pemondokan di Makkah atau Madinah.
Pada masa itu, seluruh jamaah calon haji yang baru tiba, harus lebih dulu ditempatkan di Madinatul Hujjah di Jeddah, bersama dengan jamaah negara lain. Selama sehari di sini, baru para calon haji diberangkatkan ke Makkah.
Saya bersama rombongan jamaah yang kebanyakan dari Jawa Barat, baru keesokan harinya berangkat ke tempat pemondokan yang disediakan syekh. Yang menjadi syekh kami adalah Haji Abbas, seorang mukimin yang telah menetap entah beberapa generasi di Tanah Suci.
Orangnya ramah, dan masih bisa berbahasa Sunda.
Di Saudi hingga kini banyak orang Indonesia yang bermukim di sana. Mereka umumnya datang pada abad ke-18 dan 19. Kala itu, tiap jamaah mendapat jatah konsumsi berupa beras dan lauk pauk. Tapi selama dua atau tiga hari di tempat pemondokan Syekh, saya sendiri lebih banyak makan di luar. Maklum tidak bisa memasak. Bahkan membuat air panas juga tidak mampu.
Di Makkah banyak dijumpai restoran Indonesia (Malayu) dan Patani (umat Islam dari Thailand Selatan). Bahkan ketika saya ke Jeddah, saya selalu makan di restoran Padang.
Beberapa lama di Makkah, kami sempat berkunjung ke KBRI Jeddah. Ketika itu, warga Indonesia yang tinggal di kota itu sudah cukup banyak. Di Jeddah terdapat sekolah Indonesia mulai dari SD sampai SLTA. Hal ini karena sudah banyak tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Saudi. Tapi TKW-nya tidak ada.
Di KBRI inilah, saya berjumpa Atase Pers dan Penerangan, Arifin, yang menawarkan saya untuk menjadi tamu negara bagi pemerintah Arab Saudi. Kala itu, sampai beberapa tahun kemudian, pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengundang dua orang wartawan dari negara-negara Islam sebagai tamu negara pada musim haji. Kesempatan itu pun saya terima.
Sebagai tamu inilah, saya bersama rekan wartawan Indonesia lainnya, mendapat perlakuan luar biasa. Selama di Jeddah, kami diinapkan di Hotel Kandara, hotel terbaik saat itu, Dari Jeddah ke Mekkah, disediakan mobil Bel Air produksi perusahaan Chevrolet dari AS. Karena itu, saya tidak lagi tinggal di pondokan syekh di Makkah.