REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- ''Jauh-jauh ke Arab Saudi, makan rendang lagi, rendang lagi.'' Mungkin itu yang akan terbayang di benak sebagian besar orang yang membaca daftar menu konsumsi jamaah haji yang dikeluarkan pemerintah di Tanah Suci.
Deretan variasi menu yang ada memunculkan jenis-jenis menu lokal sederhana yang akrab di telinga dan mulut hampir seluruh rakyat Indonesia, sebut saya ayam semur, ikan bumbu bali, daging bumbu lada hitam ataupun terong balado. Semua jenis masakan yang disajikan itu adalah menu rumahan. Tak ada satu pun menu lokal Arab Saudi yang terdaftar di situ.
Untuk memastikan rendang ataupun ayam semur yang dibuat nantinya betul-betul bercita rasa lokal, pemerintah bahkan tak hanya meminta bumbu-bumbunya diimpor langsung dari Indonesia tapi juru masaknya juga harus orang Indonesia.
"Kami tak ingin makanan itu tampak seperti rendang tapi rasanya jauh dari itu. Orang Indonesia itu makan tidak banyak tapi rasa penting," ungkap Kepala Daerah Kerja Makkah, Arsyad Hidayat, terkait kebijakan pemerintah menyajikan menu Indonesia selama jamaah haji berada di Tanah Suci.
Tapi mengapa harus bersusah payah untuk menyediakan menu Indonesia? Bukankan akan lebih menyenangkan untuk mencicipi cita rasa lokal saat berkunjung ke daerah asing karena dapat memperkaya wawasan dan memperluas spektrum cita rasa.
Alasan mengapa menjadikan haji sekaligus sebagai wisata kuliner laiknya tren petualangan kuliner yang sedang ramai muncul di beragam program televisi nasional bukan pilihan ternyata terletak di inti dari prosesi haji itu sendiri.