Jumat 19 Aug 2016 04:51 WIB

Sandal Jepit, Masyumi, dan Tudingan Politik Haji DN Aidit

Calon jamaah chaji kloter pertama embarkasi Surabaya bersiap naik pesawat di Bandara Internasional Juanda Surabaya di Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (9/8).
Foto: M Risyal Hidayat/Republika
Calon jamaah chaji kloter pertama embarkasi Surabaya bersiap naik pesawat di Bandara Internasional Juanda Surabaya di Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (9/8).

Menjadi haji dari zaman dulu memang tak mudah. Semenjak zaman Belanda tudingan kepada sosok ini hampir selalu pejoratif. Mulai dari tuan tanah, penghisap rakyat, orang Arab, hingga pengikut demit pengumpul kekayaan.

‘’Pergi haji ke Makkah itu untuk mencari ‘pesugihan’. Di sana –di salah satu tiang masjid di Masjidil Haram, banyak orang yang menawarkan tuyul,’’ begitu tudingan yang lazim di dengar pada masyarakat di pedlaman selatan Jawa hingga dekade 1980-an.

Pelecehan ini makin menjadi karena memang pada saat itu kerap terjadi penipuan terhadap orang yang berangkat haji. Pada tahn 1960-an misalnya banyak keluarga Muslim sederhana yang tinggal di desa-desa dipermalukan karena gagal berangkat suci.

Padahal saat itu sudah digelar ‘walimatusafar’ yang meriah. Banyak calon haji yang sudah potong hewan ternak, seperti sapi, untuk  menjamu para tamu yang hadir dalam selamatan. Tak hanya itu duit yang sudah disetor untuk biayai haji juga raib tak tentu rimbanya. Katanya: sudah dibayarkan kepada syekh di Arab!

Adanya situasi ini tentu saja menjadi santapan isu politik. Apalagi kala itu tengah terjadi perseteruan yang hebat antara PKI dan seteru politik utamanya, yakni Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Situasi di akar rumput pedesaan semakin membara karena Ketua Umum PKI kemudian ‘meletupkan’ kampanye politik:  ‘Waspada Terhadap Tujuh Setan Desa’. Aidit memanfaatkan isu ini untuk menyingkirkan peran posisi politik kaum Muslim.

Maka dia pun menggoreng isu kisruh penyelenggaraan haji, mengkaitan para haji sebagai tuan tanah yang tamak, dan hingga membuat tudingan bahwa para haji sebagai pendukung utama gerakan DII/TII . Tak hanya itu para haji, terutama d Jawa Barat, dia sebut sebagai penyokong partai Masjumi dan PSI yang pada saat itu dibubarkan dan dinyatakan terlarang oleh rezim Sukarno.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement