REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asrama haji diadakan sejak pemberangkatan jamaah haji era imperialis Belanda menggunakan Kapal Tiga Kongsi yang ada di Pulau Onrust. Selanjutnya pasca Onrust Asrama haji Ketika itu berpindah tempat karena harus menyewa dengan harga tinggi. Hingga akhirnya pada 1974 adalah tahun cikal bakal menetapnya asrama haji.
Kewajiban masuk asrama haji, dimulai pada tahun 1970. Saat WHO menyatakan Indonesia pada waktu itu termasuk daerah yang terjangkit kolera. Ini membuat Arab Saudi mengambil tindakan preventif, jamaah haji harus menjalani karantina terlebih dahulu. Indonesia pun memberlakukan ketentuan bagi jemaah haji harus dikarantina selama 5 kali 24 jam sebelum diberangkatkan ke Arab Saudi atau tanah suci dan setibanya kembali di tanah air.
Kewajiban karantina selama lima hari ini berlaku hingga tahun 1972. Pada tahun 1973 masa di asrama haji menjadi tiga hari sebelum berangkat dan tiga hari setelah tiba di tanah air.
Ketika itu, karena pemerintah belum mempunyai asrama haji sendiri, maka untuk keperluan karantina/asrama haji, dilakukan dengan sistem sewa pada wisma swasta. Seperti Wisma Pabrik sepatu Ciliwung, Asrama ABRI Cilodong, Asrama KKO AL Jl. Kweni, Asrama Haji PHI Kwitang, Asrama PHI Cempaka Putih, Wisma Tanah Air Depsos, Wisma Atletik Senayan, Hotel Nirwana Jatinegara dan Ponpes Asysyafiyyah.
Biaya penyewaan tersebut sangat besar, selain itu wisma yang disewa memang tidak dipersiapkan untuk jemaah haji. Tidak heran, kalau tidak dilengkapi sarana yang dibutuhkan untuk jemaah haji.
Pada 1974, Direktur Jenderal Urusan Haji Prof KH Farid Maruf Bersama dengan HM Dahlan Effendhy H dan H Satijo Poerbosoesatijo mulai merencanakan pembangunan asrama karantina haji dengan syarat fasilitas letak di pinggir jalan besar, air listrik memadai, kapasitas kurang lebih 1.500 orang dan berkamar, ada mushalla, aula dan ruang makan.
Rencana itu, baru bisa direalisasikan pada 1977, masa Departemen Agama dijabat Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara dan Dirjen Urusan Haji dijabat Burhani Tjokrohandoko, yang memerintahan pembangunan asrama karantina haji Pondok Gede Jakarta. Lokasi ini dipilih dari 103 daftar yang diteliti, lokasinya dekat dengan Bandara Halim Perdanakusumah, yang pada waktu itu merupakan bandara Internasional penerbangan dari dan ke Indonesia.
Tanah tersebut termasuk jalur hijau yang seharusnya bebas dari bangunan sebagai kawasan pengamanan lingkungan Angkatan Udara. Walau demikian, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin memberikan izin untuk dibangun asrama karantina haji.
Akhirnya pembangunan dapat dimulai pada 21 September 1978, dan setahun berikutnya asrama karantina haji sudah bisa dipakai.
Saat peresmiannya Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara mengatakan, “Asrama Haji Pondok Gede ini dibangun dengan uang jamaah haji, sehingga kita kembalikan untuk pelayanan jemaah haji yang berujud bangunan asrama haji”.
Dalam perkembangan selanjutnya, jumlah jamaah haji yang menggunakan pesawat udara mengalami peningkatan. Asrama haji pemberangkatan dikembangkan menjadi beberapa wilayah semula Jakarta dan Surabaya, ditambah dengan Makassar dan Medan.
Sekarang, jemaah haji hanya masuk asrama haji sehari menjelang keberangkatan, dan ketika tiba di Indonesia tidak perlu masuk ke asrama haji lagi. Asrama haji saat ini berfungsi sebagai asrama haji embarkasi, yaitu asrama yang berfungsi untuk melayani jemaah haji dari proses awal sampai keberangkatan dan kepulangan melalui bandara haji. Jumlah asrama haji embarkasi sebanyak 13: Aceh, Medan, Padang, Palembang, Batam, Bekasi, Jakarta, Solo, Surabaya, Lombok, Banjarmasin, Balikpapan dan Ujungpandang.
Asrama haji embarkasi sejak 2013 dilakukan revitalisasi, dan hasilnya setaraf hotel berbintang tiga. Selain asrama haji embarkasi, ada asrama haji provinsi yang berfungsi melayani jemaah haji wilayah provinsi untuk diberangkatkan melalui asrama haji embarkasi. Hampir seluruh provinsi ada asrama haji provinsi. Apakah ke depan dibutuhkan asrama haji kabupaten atau tidak, semua tergantung masa.
Sumber: Kementerian Agama RI