Senin 29 Aug 2016 17:07 WIB

Haid Datang Saat Menunaikan Haji

Rep: Hafidz Muftisany/ Red: Agung Sasongko
Jamaah melakukan tawaf mengitari Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, Rabu (10/11).
Foto: Republika/Didi Purwadi
Jamaah melakukan tawaf mengitari Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, Rabu (10/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pergi ke Tanah Suci menunaikan haji adalah keinginan setiap Muslim. Seseorang yang sudah mendapat panggilan guna menunaikan rukun Islam kelima ini, tentu berharap menjadi haji yang mabrur. Salah satu syarat agar ibadah hajinya diterima adalah menunaikan semua rangkaian ibadah haji.

Khusus bagi Muslimah yang menunaikan haji, tentu ada peluang datang haid bulanan saat sedang berihram. Padahal, saat haid, seorang Muslimah tidak boleh menunaikan tawaf sebagai bagian dari rukun haji.

Saat Aisyah RA sedang haid, Rasulullah SAW bersabda, "Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji, selain dari melakukan tawaf di Ka'bah hingga engkau suci."  (HR Muttafaq Alaih)

Lalu, bagaimana jika saat berhaji datang haid pada Muslimah?

Di antara syarat sah tawaf adalah suci dari hadas kecil dan besar. Dengan demikian, orang yang bertawaf pada dasarnya, harus bersih dari haid dan nifas. Kesucian semacam ini merupakan syarat sah tawaf menurut sebagian besar ulama. Orang yang bertawaf dalam kondisi tidak suci, tawafnya menjadi batal.

Berdasarkan pandangan ini, dalam Madzhab Syafii disebutkan, "Wanita haid yang belum melakukan tawaf ifadah harus bertahan di Makkah hingga suci. Kalau ada bahaya yang mengancam atau hendak pulang bersama rombongan sebelum tawaf ifadhah, ia harus tetap dalam keadaan ihram hingga kembali ke Makkah untuk bertawaf walau beberapa tahun kemudian." (Kitab al-Majmu juz 8, hal. 200)

Sementara menurut kalangan Hanafi, suci dalam tawaf hukumnya wajib. Karena itu, orang yang bertawaf dalam kondisi tidak suci seperti wanita yang sedang haid dan nifas, tawafnya sah, tetapi harus membayar dam. Mereka berdalil dengan firman Allah, "Hendaknya mereka melakukan tawaf di sekitar Ka'bah Baitullah itu." (QS al-Hajj [22]: 29). Menurut mereka ayat tersebut memerintahkan tawaf secara mutlak, tanpa dikaitkan dengan syarat kesucian.

Pandangan lain disebutkan dalam kitab Fathul Aziz karya ar-Rafi'i, yakni wanita yang tiba-tiba mendapat haid sebelum melakukan atau menyelesaikan tawaf, sementara ia tidak mungkin tinggal di Makkah sampai haidnya selesai, bisa mewakilkan kepada orang lain yang sudah melakukan tawaf untuk bertawaf bagi wanita tersebut.

Jika darah haidnya tidak keluar terus-menerus dan sempat berhenti untuk beberapa hari, pada masa itulah ia bertawaf. Ini sesuai dengan pandangan kalangan Syafii yang menyatakan, kondisi bersih pada hari-hari terputusnya haid dianggap suci.

Terakhir, Ibnu Taymiyyah dan Ibnul Qayyim berpendapat, tawaf ifadah wanita haid adalah sah jika memang kondisinya terpaksa, seperti ia harus pergi bersama rombongan untuk meninggalkan Makkah. Syaratnya, ia harus membalut tempat keluarnya darah. Menurut Ibnu Taymiyyah, dalam shalat sekalipun syarat suci menjadi gugur apabila keadaannya memaksa atau darurat.

Misalnya, orang yang terkena istihadah. Kalau syarat sah dalam shalat dapat gugur akibat adanya kelemahan seseorang untuk memenuhinya, apalagi syarat untuk melakukan tawaf.

Lalu, apakah boleh seorang Muslimah meminum pil antihaid agar selama ibadah haji tidak terganggu? Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU) dalam sidang Mukhtamar NU di Pondok Pesantren Al Munawir, Krapyak, Yogyakarta, 1989, membolehkan penggunaan pil antihaid untuk tujuan ibadah. Syaratnya, obat yang dikonsumsi tidak membahayakan kesehatan calon jamaah haji, dan hajinya tetap dianggap sah.

Para ulama NU berdalil dengan kitab Qurratul 'Ain fii Fatawil Haramain yang berbunyi, "Jika wanita mempergunakan obat-obatan mencegah darah haid atau untuk meminimalisasinya, hukumnya makruh selama tidak menyebabkan kemandulan."

Dalam Fatawa al-Qimath juga disebutkan jika tidak apa-apa mengonsumsi pil antihaid. Kitab Al Madzahibul Arba'ah lebih menekankan soal syarat pil antihaid tidak boleh mengancam kesehatan. Sebab, menjaga kesehatan hukumnya wajib.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam keputusan Komisi Fatwa 12 Januari 1979 membahas singkat tentang penggunaan pil haid. Komisi Fatwa MUI yang saat itu diketuai KH Syukri Ghozali memutuskan, tiga hal terkait mengonsumsi pil haid. Pertama, jika niatnya untuk menunaikan ibadah haji, hukumnya mubah atau boleh.

Kedua, jika penggunaan pil haid dengan maksud untuk menunaikan puasa Ramadhan, hukumnya makruh. Akan tetapi, bagi Muslimah yang sukar mengqadha puasa pada hari lain maka hukumnya mubah. Ketiga, jika niat penggunaan selain untuk dua ibadah di atas, hukumnya bergantung pada niatnya. MUI menegaskan, jika penggunaan pil haid untuk perbuatan yang menjurus pada pelanggaran hukum agama, hukumnya haram.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement