Selasa 30 Aug 2016 09:33 WIB

Orang Indonesia Naik Haji, Kajian Peneliti Belanda Masa Kini

ihak maktab menyiapkan cindera mata bagi jamaah kloter SOC-35 yang tiba di Pemondokan 604 di Hotel Rehhal Mina, Sysiah, Makkah, Arab Saudi, Selasa (23/8). Republika/Didi Purwadi
Foto: Didi Purwadi/Republika
ihak maktab menyiapkan cindera mata bagi jamaah kloter SOC-35 yang tiba di Pemondokan 604 di Hotel Rehhal Mina, Sysiah, Makkah, Arab Saudi, Selasa (23/8). Republika/Didi Purwadi

Kesemarakan dan besarya antusiasme Muslim Indonesia untuk naik haji menarik peneliti masalah ke-Islaman asal Belanda masa kini, Martin van Bruinessen. Dalam tulisan pendeknya yang bertajuk:’Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji.

Martin dalam kajian itu memaparkan banyak data soal jamaah haji Indonesia. Menurutnya, di antara seluruh jemaah haji, orang Nusantara selamasatu setengah abad  terakhir merupakan proporsi yang sangat menonjol. Pada akhir abad ke-19 dan  awal abad ke-20, jumlah mereka berkisar antara 10 dan 20 persen dari seluruh haji asing, walaupun mereka datang dari wilayah yang lebih jauh daripada yang lain. Malah pada dasawarsa 1920-an sekitar 40 persen dari seluruh haji berasal dari Indonesia.

Orang Indonesia yang tinggal bertahun-tahun atau menetap di Makkah pada zaman itu juga mencapai jumlah yang cukup berarti. Di antara semua bangsa yang berada di Makkah, orang 'Jawah' (Asia Tenggara) merupakan salah satu kelompok terbesar.

Sekurang-kurangnya sejak tahun 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Makkah, setelah bahasa Arab. Kita tidak mempunyai data statistik mengenai jemaah haji Indonesia abad-abad  sebelumnya. Sebelum munculnya kapal api jumlah mereka pasti lebih sedikit,  karena perjalanan dengan kapal layar cukup berbahaya dan makan waktu lama

sekali.

Namun bagi umat Islam Indonesia ibadah haji sejak lama mempunyai peranan amat penting. Ada kesan bahwa orang Indones ia lebih mementingkan haji daripada banyak bangsa lain, dan bahwa penghargaan masyarakat terhadap  para haji memang lebih tinggi. Keadaan ini mungkin  dapat dikaitkan dengan  budaya tradisional Asia Tenggara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement