Kesemarakan dan besarya antusiasme Muslim Indonesia untuk naik haji menarik peneliti masalah ke-Islaman asal Belanda masa kini, Martin van Bruinessen. Dalam tulisan pendeknya yang bertajuk:’Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji.
Martin dalam kajian itu memaparkan banyak data soal jamaah haji Indonesia. Menurutnya, di antara seluruh jemaah haji, orang Nusantara selamasatu setengah abad terakhir merupakan proporsi yang sangat menonjol. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, jumlah mereka berkisar antara 10 dan 20 persen dari seluruh haji asing, walaupun mereka datang dari wilayah yang lebih jauh daripada yang lain. Malah pada dasawarsa 1920-an sekitar 40 persen dari seluruh haji berasal dari Indonesia.
Orang Indonesia yang tinggal bertahun-tahun atau menetap di Makkah pada zaman itu juga mencapai jumlah yang cukup berarti. Di antara semua bangsa yang berada di Makkah, orang 'Jawah' (Asia Tenggara) merupakan salah satu kelompok terbesar.
Sekurang-kurangnya sejak tahun 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Makkah, setelah bahasa Arab. Kita tidak mempunyai data statistik mengenai jemaah haji Indonesia abad-abad sebelumnya. Sebelum munculnya kapal api jumlah mereka pasti lebih sedikit, karena perjalanan dengan kapal layar cukup berbahaya dan makan waktu lama
sekali.
Namun bagi umat Islam Indonesia ibadah haji sejak lama mempunyai peranan amat penting. Ada kesan bahwa orang Indones ia lebih mementingkan haji daripada banyak bangsa lain, dan bahwa penghargaan masyarakat terhadap para haji memang lebih tinggi. Keadaan ini mungkin dapat dikaitkan dengan budaya tradisional Asia Tenggara.