Senin 05 Sep 2016 06:50 WIB

Jihad Lawan Kompeni, Mencari Ilmu dan Pahala Sembari Berhaji

Perjalanan kafilah rombongan jamaah haji meninggalkan kota Makkah menuju padang Arafah pada tahun 1935.
Foto: Gahetna.nl
Perjalanan kafilah rombongan jamaah haji meninggalkan kota Makkah menuju padang Arafah pada tahun 1935.

Dalam kajiannya yang bertajuk "Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik haji", peniliti bidang kajian Keislaman asal Belanda, Martin vanBruinessen, menyatakan selain untuk mencari legitimasi, 'ngelmu' atau ilmu, orang Indonesia sejak dulu,tentu saja, naik haji juga karena syari'at mewajibkannya bagi yang mampu. 

Penyairsufi yang kontroversial, Hamzah Fansuri, dalam salah satu syairnya sudah bicara tentang haji sebagai rukun kelima. Hamzah sendiri telah naik haji, dan dengan menunaikan kewajiban ini ia berharap 'menemukan Tuhan'. Tetapi untuk mencapai

tujuan itu ternyata perjalanan lahir ke Makkah tidak cukup:

Sidang `asyiq mencari Lawan

ke Bait al-Qudus pergi berjalan

kerjanya da'im membuangkan kawan

itulah sedia anak bangsawan

Ialah sampai terlalu `asyiq

da'im ia minum pada cawan Khaliq

mabuk dan gila ke Hadhrat Raziq

itulah thalib da`wanya shadiq

Minuman itu terlalu masak habis

dapat diminum pada fardh yang khamis

jika hendak kau minum sekalian habis

wujud wahmi jangan kau labis

.....

.....

.....

Hamzah Fansuri di dalam Makkah

mencari Tuhan di Bait al-Ka`bah

di Barus ke Qudus terlalu payah

akhirnya dapat di dalam rumah

Syair ini mengingatkan kita kepada cerita sufi dalam karya al-`Attar, Manthiq Al-Thair ('Musyawarah Burung'). Tiga puluh burung berangkat mencari dewa burung mitologis yang namanya Simurgh. Pencarian ini membawa mereka melalui seluruh dunia tanpa berhasil - sehingga mereka menyadari bahwa Simurgh sebetulnya tidak lain dari mereka sendiri: si murgh berarti 'tiga puluh burung'.

Demikian jugarombangan `asyiq ('pecinta') dalam syair Hamzah mencari lawannya, yaitu Tuhan, melalui perjalanan ke kota-kota suci Makkah dan Qudus (Yerusalem). Hamzah, yang lahir di Barus dan rupanya telah naik haji dan berziarah sampai ke Qudus, mengklaim akhirnya menemukan Tuhan di dalam dirinya.

Pengalaman ruhani ini, yaitu suatu penghayatan mendalam faham wahdat al-wujud, untuk pertama kali diperolehnya ketika ia bermukim di ibukota Muangthai zaman itu, seperti diuraikannya dalam syair yang lain (Hamzah nin asalnya Fansuri / mendapat wujud di tanah Syahr Nawi). Syahr Nawi (nama Farsi untuk kota Ayuthia) pada masa itu merupakan pusat perdagangan internasional yang penting, tempattinggal banyak orang Islam, terutama yang berasal dari Iran dan India.

Namun bagi orang Indonesia generasi berikutnya, tempat 'mencari Tuhan', yaitu memperdalam ilmu ilmu Islam, baik fiqih maupun tasawwuf, metafisika dan 'ilmu ghaib', tetap adalah Makkah dan Madinah. Walaupun Islam di Indonesia pada abad ke-17 diwarnai oleh pengaruh India, pengaruh itu datang tidak langsung dari India tetapi melalui dua kota suci itu. Tokoh- tokoh yang menyebarkan faham wahdat al-wujud dan tarekat-tarekat di Indonesia pada abad ke-17 telah mempelajarinya di tanah suci.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement