Dalam kajiannya yang bertajuk "Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik haji", peniliti bidang kajian Keislaman asal Belanda, Martin vanBruinessen, menyatakan selain untuk mencari legitimasi, 'ngelmu' atau ilmu, orang Indonesia sejak dulu,tentu saja, naik haji juga karena syari'at mewajibkannya bagi yang mampu.
Penyairsufi yang kontroversial, Hamzah Fansuri, dalam salah satu syairnya sudah bicara tentang haji sebagai rukun kelima. Hamzah sendiri telah naik haji, dan dengan menunaikan kewajiban ini ia berharap 'menemukan Tuhan'. Tetapi untuk mencapai
tujuan itu ternyata perjalanan lahir ke Makkah tidak cukup:
Sidang `asyiq mencari Lawan
ke Bait al-Qudus pergi berjalan
kerjanya da'im membuangkan kawan
itulah sedia anak bangsawan
Ialah sampai terlalu `asyiq
da'im ia minum pada cawan Khaliq
mabuk dan gila ke Hadhrat Raziq
itulah thalib da`wanya shadiq
Minuman itu terlalu masak habis
dapat diminum pada fardh yang khamis
jika hendak kau minum sekalian habis
wujud wahmi jangan kau labis
.....
.....
.....
Hamzah Fansuri di dalam Makkah
mencari Tuhan di Bait al-Ka`bah
di Barus ke Qudus terlalu payah
akhirnya dapat di dalam rumah
Syair ini mengingatkan kita kepada cerita sufi dalam karya al-`Attar, Manthiq Al-Thair ('Musyawarah Burung'). Tiga puluh burung berangkat mencari dewa burung mitologis yang namanya Simurgh. Pencarian ini membawa mereka melalui seluruh dunia tanpa berhasil - sehingga mereka menyadari bahwa Simurgh sebetulnya tidak lain dari mereka sendiri: si murgh berarti 'tiga puluh burung'.
Demikian jugarombangan `asyiq ('pecinta') dalam syair Hamzah mencari lawannya, yaitu Tuhan, melalui perjalanan ke kota-kota suci Makkah dan Qudus (Yerusalem). Hamzah, yang lahir di Barus dan rupanya telah naik haji dan berziarah sampai ke Qudus, mengklaim akhirnya menemukan Tuhan di dalam dirinya.
Pengalaman ruhani ini, yaitu suatu penghayatan mendalam faham wahdat al-wujud, untuk pertama kali diperolehnya ketika ia bermukim di ibukota Muangthai zaman itu, seperti diuraikannya dalam syair yang lain (Hamzah nin asalnya Fansuri / mendapat wujud di tanah Syahr Nawi). Syahr Nawi (nama Farsi untuk kota Ayuthia) pada masa itu merupakan pusat perdagangan internasional yang penting, tempattinggal banyak orang Islam, terutama yang berasal dari Iran dan India.
Namun bagi orang Indonesia generasi berikutnya, tempat 'mencari Tuhan', yaitu memperdalam ilmu ilmu Islam, baik fiqih maupun tasawwuf, metafisika dan 'ilmu ghaib', tetap adalah Makkah dan Madinah. Walaupun Islam di Indonesia pada abad ke-17 diwarnai oleh pengaruh India, pengaruh itu datang tidak langsung dari India tetapi melalui dua kota suci itu. Tokoh- tokoh yang menyebarkan faham wahdat al-wujud dan tarekat-tarekat di Indonesia pada abad ke-17 telah mempelajarinya di tanah suci.