REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Konsultan Bimbingan Ibadah Haji Daerah Kerja Makkah, Aswadi Syuhada Nuruddin, mengingatkan jamaah haji bahwa ibadah tawaf wada -- yang berarti perpisahan -- bukan akhir dari upaya menjaga akhlak dan kemabruran haji.
"Bagi jamaah haji selain mengakhiri ibadahnya dengan tawaf wada harus juga tetap menjaga akhlak dan nilai-nilai kemabruran haji," ungkap Aswadi di Kantor Daerah Kerja Mekkah, di kawasan Syisyah, Jumat (23/9).
Aswadi menjelaskan ibadah tawaf perpisahan itu sekalipun dimaknai sebagai proses pamit kepada Allah SWT melalui media Kabah namun bukan berarti terhentinya proses secara spiritual.
"Harus berpisah secara fisik namun secara esensi justru manusia itu lebih dekat kepada Allah SWT. Katakanlah jauh di mata dekat di hati. Prinsip wada itu seperti itu," ungkap Aswadi menjelaskan.
Walaupun jamaah haji telah berpisah dengan Baitullah, sambung Aswadi, tetapi mereka harus lebih dekat pada Allah SWT. "Lebih dekat untuk melaksanakan ibadahnya, untuk kebaikannya, untuk membantu orang lain, untuk lebih mencintai tugasnya dan lain-lain," katanya.
Justru melalui tawaf wada, menurut Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya, jamaah harus mampu mengalihkan ritual ibadah yang sudah dilakukan untuk bisa diterapkan di mana saja dan kapan saja mengingat kemabruran haji adalah sebuah proses.
Sementara itu, Kepala Bidang Perlindungan Jamaah (Linjam) Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Jaetul Muchlis mengimbau agar jamaah tidak melakukan tawaf wada di saat jam kritis atau empat jam sebelum bertolak menuju Jeddah atau Madinah.
Menurut dia, tawaf wada hendaknya dilakukan sebelum empat jam menjelang kepulangan untuk mengantisipasi jamaah terpisah dari rombongannya.
Apabila tawaf wada dilakukan empat jam menjelang kepulangan, boleh jadi tidak cukup jeda waktu untuk mencari jamaah yang terpisah dari rombongannya yang dapat berimplikasi pada jamaah tidak tergabung dalam kelompok terbangnya (kloternya) atau penundaan kepulangan.