REPUBLIKA.CO.ID, Oleh; Didi Purwadi, Wartawan Republika dari Tanah Suci
MAKKAH -- Sisa-sisa pasir padang tandus Hudaibiyah masih menyelip di antara jari-jari kaki yang berselimut sandal gunung. Belum hilang kegembiraan usai menikmati segarnya susu unta di tengah padang pasir Hudaibiyah, kaki yang masih berpasir halus ini telah menjejakkan telapaknya di titik miqat Hudaibiyah yang berjarak 25 km dari Masjidil Haram.
Puing-puing sisa bangunan masjid tua berdiri kokoh menyambut kehadiran kami. Sunyi, sepi, tak dipedulikan. Padahal, lokasi puing-puing tersebut konon menjadi titik atau tempat dimana ribuan muslim melakukan janji setia (bai’at) pada Rasulullah SAW. Pada tahun 6H, sebanyak 1.400 muslim melakukan bai’at di bawah pohon di dekat sumur yang lokasinya diyakini di sekitar puing-puing bangunan masjid tua yang terbengkalai ini.
Kisahnya bermula ketika Nabi Muhammad SAW dan para sahabat ingin pergi ke Makkah untuk berumrah sekaligus mengunjungi kerabat yang sudah terpisah lama. Sesampai di Hudaibiyah, Nabi mengutus Utsman bin Affan ke Makkah untuk menyampaikan niat berumrah di Masjidil Haram.
Kaum musyrikin Makkah justru menahan Utsman dan tersiar kabar sahabat Nabi itu telah dibunuh. Karena itu, Nabi Muhammad SAW mengambil bai’at dari kaum muslimin untuk bersiaga memerangi kaum Quraisy. Bai’at di bawah pohon di dekat sumur yang dikenal dengan nama ‘’Bai’atur Ridhwan’’ ini diabadikan dalam surat Al-Fath ayat 18.
‘’Sesungguhnya Allah SWT telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).’’
Bangunan masjid tua bernama Masjid Bai’atur Ridhwan kini tinggal puing-puing meski tetap terlihat kokoh. Bangunan tersebut disusun dari tumpukan batu-batu gunung berwarna hitam dan cokelat tua yang direkatkan dengan adonan pasir dan kapur.
Ketebalan dindingnya sekitar 60 cm dengan tinggi bangunan mencapai 3 meter. Masjid tua itu kini yang tersisa hanya dinding-dindingnya yang masih berdiri kokoh. Bangunan yang diperkirakan berusia ribuan tahun ini sudah tak lagi beratap.
Lokasi masjid itu juga menjadi lokasi tempat terjadinya perjanjian Hudaibiyah antara kaum Muslim dan kaum musyrikin Makkah. Setelah mendengar kabar ‘Bai’atur Ridhwan’, kaum musyrikin Makkah langsung ketakutan lalu melepaskan Utsman. Mereka pun mengirim Suhail bin Amru untuk bernegosiasi dengan Rasulullah SAW.
Lokasi ini menjadi saksi kesabaran dan kehandalan Rasul dalam menghadapi Suhail yang dikenal jago diplomasi dan beretorika. Ketika Rasul meminta Ali bin Abi Thalib ra menulis awal perjanjian dengan kata ‘bismilahirrahmanirrahim’, Suhail menolaknya,’’Demi Allah, kami tidak tahu apa itu Ar-rahman. Tulislah Bismikallahumma.’’
Isi perjanjian Hudaibiyah pun terkesan menguntungkan kaum Quairsh. Karena, isinya mengharuskan tiap orang yang kabur atau lari dari Makkah menuju Madinah, harus dikembalikan ke Makkah kepada kaum Quraisy. Sebaliknya orang yang lari atau kabur dari Madinah menuju Makkah itu tidak harus dikembalikan ke Madinah.
Perjanjian Hudaibiyah sesungguhnya menguntungkan kaum Muslim. Ini menjadi bukti kecerdasan Rasul dalam bernegosiasi. Dengan langsung dikembalikan orang Makkah yang ditahan di Madinah, berarti menutup peluang adanya mata-mata yang bisa membaca kondisi kaum muslim di Madinah.
Banyak kenangan histori yang terjadi di Hudaibiyah. Tapi, semuanya tinggal puing-puing yang tersisa. Ironisnya, puing-puing tersebut pun penuh dengan coretan tangan jahil. Kebanyakan coretan nama-nama khas nama Indonesia.