REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memasuki abad ke-17, motivasi umat Islam nusantara semakin besar untuk bisa melaksanakan haji. Pada abad ini, media yang digunakan untuk menunaikan haji adalah menuntut ilmu.
Pada masa itu, mulai terdapat orang nusantara yang berkunjung ke Hijaz dengan maksud untuk belajar ke Jazirah Arabia, khususnya Makkah dan Madinah. Sumber-sumber sejarah mencatat beberapa nama yang telah melaksanakan ibadah haji pada abad ke-17 ketika mereka tengah melanjutkan studinya di Hijaz.
Di antara mereka adalah Muhammad Yusuf (1626-1699 M), yang lebih terkenal dengan sebutan Syekh Yusuf Makassar. Ia adalah seorang ulama tarekat, penulis, dan pejuang yang berasal dari dan lahir di Makassaar, Kerajaan Gowa.
Ulama lain yang ikut merantau untuk menuntut ilmu sambil melaksanakan haji adalah Abdurrauf Singkel (1615-1693 M).
Ia meninggalkan Aceh untuk melanjutkan pendidikannya di Arab Saudi. Selanjutnya, ada nama Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani, Abdusshamad al-Palimbani, Ahmad Khatib Sambas, Ahmad Khatib Minangkabawi, dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Disusul kemudian oleh KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, dan lainnya pada periode awal abad ke-19 M.
Selain Yusuf Makassar dan Abdurrauf Singkel, tercatat beberapa peziarah yang datang ke Haramain untuk menuntut ilmu sambil menunaikan ibadah haji. Besar kemungkinan para peziarah ini adalah murid dan pengikut kedua ulama tersebut. Media berdagang dan menuntut ilmu yang digunakan pada kurun abad tersebut merupakan strategi umat Islam nusantara agar terhindar dari berbagai aturan ketat dari penguasa saat itu yang melarang menunaikan haji.