Tapi segala suasana dan ritual yang ada di sekitar pelaksanaan ibadah haji ternyata membawa arti lain bagi saya. Prosesi melempar jumrah yang merupakan lambang dari pelemparan syetan misalnya ternyata membawa kepada sebuah pengalaman yang selama ini tak terbayangkan. Juga pengalaman berdoa sewaktu wukuf di Arafah di mana para pejiarah menyakini bila berdoa di tempat itu maka permohonan akan dikabulkan, benar-benar telah membuat saya menangis. Begitu juga pengalaman melakukan tawaf dan berada di Masjidil Haram membuat batin saya merasa begitu nyaman.
Salah satu pengalaman yang sangat berkesan adalah ketika saya dan Raghdah melontar jumrah di jamarat. Kami berjalan tertatih untuk mencapai tugu jamarat untuk melempar batu. Raghdah begitu baik menuntun saya hingga sampai di tempat yang penuh kerumunan orang itu. Nah, setelah selesai seperti jamaah lainnya, Raghdah mengajak kami berselfie ria.
’’Marilah kita selfie dengan setan,’’ kata Raghdah. Saya pun tertawa mendengar celotehnya. Kami pun kemudian berselfi ria dengan berlatar belakang tugu yang menjadi sasaran pelemparan batu itu.
Dan bersamaan dengan itu, ketika kami berjalan di kerumunan, kami bertemu dengan sekelompok jamaah haji asal Indonesia. Mereka tengah sibuk melantunkan doa talbiyah. Suaranya begitu merdu seperti nyanyian. Setelah selesai melempar jumrah jamaah asal Indonesia pun menangis bersama-sama dan saling berpelukan. Saya dan Raghdah yang ada di dekat mereka pun dipeluknya.Bahkan, para jamaah perempuan asal Indonesia mencium saya dan Raghdah. Saya pun terharu dan ikut menangis.
Di akkhir ritual haji dan sekligus menjeleng kepulangan saya pun melakukan tawaf. Saya sengaja berjalan tanpa alas kaki di lantai Masjidil Haram yang dingin. Saya berjalan mengilingi bangunan Ka’bah yang menjulang sebanyak tujuh kali putaran. Selama putaran itu saya begitu banyak melihat ragam polah manusia. Sembari terus berdoa dan sesekali melihat buku doa saya berusaha keras membaca doa yang saya bisa.
Tapi, saat itu mulut ini terasa terkunci. Saya merasa mati rasa, bahkan ketika saya melafazkan kalimat pujian dan terima kasih. Suara itu tak bisa keluar dari mulut saya. Pikir saya: bagaimana saya meminta lagi kepada Allah, ketika saya merasa bahwa saya telah diberi begitu banyak? Saat itu pun saya langsung juga berpikir tentang apa yang mungkin terjadi setelah saya pulang ke Yerusalem dan menjalani kerja sebagai jurnalis koresponden The Neu York Times.
Saya merasakan semua doa kebaikan dan semua doa jamaah yang saat itu berada bersama-sama di samping Ka’bah begitu menyemangati saya. Dan saya merasakan betapa banyaknya orang baik yang secara tulus mendukung saya. Saya pun sadar sepenuhnya ini merupakan kisah nyata.