REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panitia Kerja (Panja) Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) telah menaikkan ongkos ibadah haji sebesar Rp 249 ribu, sehingga menjadi Rp 34.890.312. Namun, kenaikan tersebut dinilai harus rasional dan faktual.
Pengamat haji dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ade Marfuddin mengatakan, bahwa sebenarnya yang perlu dilihat, bukan naik dan turunnya BPIH tersebut, tapi yang harus menjadi catatan adalah kebijakan tersebut harus rasional dan faktual.
“Sesungguhnya bukan pada porsi naik turunnya BPIH ya, tapi yang menjadi catatan adalah harus rasional dan harus faktual,” ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (24/3).
Dia mengatakan, secara rasioanal, kenaikan BPIH tersebut selalu tegantung pada dua hal. Yaitu tergantung pada nilai tukar rupiah terhadap dolar dan tergantung harga minyak dunia atau aviation turbine (avtur).
“Jadi, kalau misalnya harga minyak dunia naik maka otomatis haji akan naik ongkosnya. Yang kedua, kalau dolarnya juga tinggi maka otomatis akan berubah juga nilai BPIH-nya,” ucapnya.
Pemerintah menaikkan biaya keberangkatan haji tersebut beriringan dengan peningkatan layanan jamaah haji. Namun, menurut Ade, jika harga minyak turun, misalnya, sampai di bawah 75 dolar AS, seharusnya pemerintah juga komitmen juga untuk menurunkan BPIH.
“Komitmen dong pemerintah, Kementerian Perhubungan, Garuda, sama Saudia menurunkan harga haji, karena itu komponen yang paling besar, hampir 54 persen habis di transportasi udara. Ini kalau kita mau kritik, mau faktual sesuai lapangan,” kata dia.
Ketua Rabithah Haji Indonesia tersebut menambahkan, saat ini harga minyak berada dibawah 50 dolar AS. Seharusnya, kata dia, ongkos naik haji bukan malah dinaikkan tapi diturunkan. “Harusnya bukan naik, tapi turun, bisa lebih dari Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta kita menurunkan kalau itu konsisten dan faktual,” ucapnya.