Kamis 30 Mar 2017 08:58 WIB

Operasi 'S': Mencari Real, Ilmu, dan Keberkahan di Makkah

Suasana pasar kambing Kakiah di Makkah, Senin (5/9). (Republika/ Amin Madani)
Foto: Republika/ Amin Madani
Suasana pasar kambing Kakiah di Makkah, Senin (5/9). (Republika/ Amin Madani)

Semenjak dahulu kala, orang Nusantara memandang Makkah dan Madinah sebagai kota keberkahan dan ilmu pengetahuan. Pomeo saat itu mengatakan, "Bila ingin mencari ilmu maka pergilah ke Mesir, namun bila ingin mencari ilmu dan keberkahan hidup maka pergilah ke Makkah". Ini karena di sana banyak berkiprah berbagai ulama sekaligus menjadi imam Masjidil haram yang berasal dari berbagai wilayah yang ada di Nusantara.

"Berbagai  ulama besar asal Nusantara  tinggal di Makkah. Mereka berasal dari Sumatra, Jawa, Madura, Sulawesi, hingga Kalimantan. Selain sebagai sumber ilmu agama, para ulama itu juga menjadi sumber rujukan perjuangan kebangsaan.  Pengaruh ulama ini tersebar di antaranya melalui kunjungan para peziarah haji,’’ kata Ketua Umum Himpuh Ahmad Baluki.

Semenjakawal pendirian kesultanan Demak Mataram Islam, para raja di Jawa itu memakai Makkah sebagai pusat rujukan baik politik maupun keilmuan. Pangeran Rangsang di Yogyakarta di Yogyakarta –yang kemudian ketika bertahta menyebut dirinya sebagai Sultan Agung – mengirimkan delegasi ke Makkah untuk mencari perlindungan politik dari Syarif Makkah sebagai wakil dari Imperium Kesultanan Otoman di Turki. Hal yang sama juga dilakukan oleh kerajaan lain di  Jawa, seperti Banten dan Cirebon.

Contoh pengaruh yang paling nyata dari pengaruh ulama Makkah adalah saat terjadinya perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Perang ini merupakan kelanjutan dari seruan jihad yang gaungka Imam Masjidil Haram, Syaikh Abdussamad al-Palembangi, yang diakhir tahun 1700-an menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah. Saat itu, seruan ulama Makkah ini disebarkan di berbagai masjid yang ada di wilalah Keraton Surakarta  menjelang datangnya bulan Ramadhan.

Baluki menceritakan, mencari keberkahan dan ilmu di tanah suci itu lestari hingga sekarang seiring berdirinya Universitas di Makkah dan Madinah. Namun, katanya, ada perbedaan mencolok yang saat ini terjadi. Perbedaan ini mulai terjadi sekitar tahun 1980-an.

"Niatan mencari ilmu ke Tanah Suci itu, mulai tambah variasinya ketika terjadi pengiriam Tenaga Kerja Indonesia (TKI).  Motivasi pergi  Makkah dan Madinah juga dimaksudkan untuk mencari penghidupan seiring dengan banjirnya komoditi minyak yang membuat Arab Saudi menjadi negara kaya-raya," kata Baluki

Baluki mengatakan, dari dahulu wilayah yang menjadi favorit para TKI ketika bekerja di Arab Saudi, adalah Makkah setelah itu Madinah.Beberapa bagian dari TKI itu memang ada yang nyambi belajar agama, tapi sebagian besar hanya untuk bekerja. Selain itu, mereka berharap sembari mencari penghasilan, pada saat yang sama mereka juga bisa menunaikan ibadah haji dan umrah.

"Pada awalnya atau tahun-tahun pertama pengiriman TKI, tenaga kerja yang didatangkan dari Indonesia benar-benar tenaga kerja yang terdidik. Tak hanya pemerintah Indonesia yang melakukan seleksi tenaga kerja yang akan dikirim itu, pihak penerima yakni pemerintahan Arab Saudi juga menerapkan syarat yang ketat bila ada warga negaranya ingin memperkerjakan tenaga kerja dari luar negeri, di antara TKI itu. Hanya kelompok warga negara kelas bangsawan atau mempunyai penghasilan tinggi yang bisa mendatangkan pekerja asing,’’ ujarnya.

Namun, situasi ini sontak bertolak belakang ketika mantan Pangkokamtib Sudomo menjabat sebagai menteri tenaga kerja. Dia melakukan oeprasi bersandi 'S' (Operasi Soedomo) yakni melonggarkan syarat kepergian TKI ke Arab Saudi. Celakanya, pemerintah Arab Saudi pun ikut melonggarkan persyaratan hingga setiap warga bisa memperkerjakan tenaga kerja asing.

"Maka mulai munculah kasus TKI yang bermasalah. Bila sebelumnya tenaga perempuan yang dikirimkan ke Arab Saudi merupakan tenaga kerja yang  benar-benar trampil maka banyak perempuan yang tanpa ketrampilan diikutsertakan. Maka , munculah ‘perempuan-perempuan bermasalah’ yang dikemudian hari mereka mempunyai perilaku murahan. Pada saat itulah, nama baik orang Indonesia yang dari dulu begitu disanjung secara mulai, tercampak ke posisi paling dasar. Ironis memang,’’ kata Baluki.

Sampai saat ini pun, lanjut Baluki, bekerja di Arab Saudi masih menggiurkan bagi banyak orang. Apalagi, banyak di antara warga bangsa Indonesia ini hidup dalam kesengsaraan. Pergi ke Arab Saudi –meski juga punya banyak risiko – masih dianggap lebih baik dari pada berdiam diri di rumah dan di kampungnya  yang tanpa masa depan dan pengasilan minim.

“Semua tahu, bila bekerja di musim haji di Makkah maka mereka akan meraup penghasilan yang sangat lumayan. Mereka berjualan apa saja untuk melayani jamaah haji Indonesia yang jumlahnya ratusan ribu itu. Maka mereka pun untung besar karena punya penghasilan yang berlipat-lipat dari modal yang dikeluarkannya,’’ ujarnya.

Namun, pada beberapa tahun terakhir, kesempatan para TKI untuk mencari penghasilan yang berlipat-lipat di tanah suci makin berkurang. Pemerintah Arab Saudi semakin ketat memberikan izin kerja kepada tenaga asing. Bukan hanya itu razia juga terus digencarkan sehingga baik tenaga kerja asing maupun pihak tuan rumahnya akan mencapat sanksi pidana bila mendatangkan warga negara ilegal. Tak hanya itu, biro umrah dan haji akan terkena sanksi yang sangat keras ketika ada jamahnya yang melarikan diri ketika melakukan umrah atau haji.

"Sekarang sudah tak bisa lagi bebas berjaualan di Makkah. Kalau ada yang nekad mereka akan dipenjara dan kemudian dideportasi. Sedangkan, kalau ada travel biro umrah dan haji terdeteksi melakukan itu, maka mereka dibuat bangkrut karena membayar denda yang sangat besar mencapai milyaran rupiah. Dan kasus ini sudah banyak terjadi,’’ tegas Baluki.

Lalu bagaimana para keturunan Indoensia yang kini sudah menjadi warga negara Arab Saudi? Mengatakan, banyak di antara mereka sudah mendapat posisi yang strategis. Posisi menteri  urusan haji sudah berkali-kali mereka dapatkan. Begitu juga banyak diantara anak keturunan Indonesia itu kini menjabat posisi di elite birokrasi, bisnis, pendidikan dan militer. Anak keturunan ulama-ulama besar asal Nusantara, misalnya kini sudah banyak mendapatkan posisi penting.

‘’Marga Al Bugisi dan Bantani menjadi contohnya karena sudah ada yang sempat menjadi menteri urusan haji. Begitu juga para keturunan ulama asal Palembang, Minangkabau, dan Banjarmasin banyak yang menjadi  pebisnis sukses di Arab Saudi,” kata Baluki.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement