Kamis 30 Mar 2017 14:00 WIB

Dilema Paspor Hijau, Antara Haji dan TKI

Sejumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang melebihi izin tinggal (overstayed) di Arab Saudi  (Ilustrasi)
Sejumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang melebihi izin tinggal (overstayed) di Arab Saudi (Ilustrasi)

IHRAM.CO.ID, Urusan paspor hijau (paspor umum), rupanya, tak melulu bersangkut paut dengan masalah jamaah haji. Tapi juga menyangkut TKI (tenaga kerja Indonesia) atau mereka yang punya bisnis di Arab Saudi. Data IMSA (asosiasi perusahaan pengerah tenaga kerja) menyebutkan hal itu. Menurut data IMSA, masih ada sekitar 9.000 TKI (kebanyakan tenaga kerja wanita-TKW) yang akan berangkat ke Arab Saudi dengan mempergunakan paspor hijau dalam bulan April dan Mei. Atau bersamaan dengan saat-saat menjelang ibadah haji.

Di samping itu, masih terdapat sejumlah pengusaha maupun pekerja-pekerja Indonesia yang telah habis masa cutinya di sini dan akan segera kembali ke Arab Saudi. "Karena itu IMSA menilai, adanya larangan bagi mereka yang menggunakan paspor hijau untuk berangkat ke Arab Saudi pada musim haji, sangat berdampak luas dan merugikan umat," kata Wakil Ketua Dewan Pertimbangan IMSA Ir H Abdul Malik Aliun kepada Republika.

Dampak yang lain, Aliun mencontohkan, perusahaan penerbangan Saudi Arabia Airlines dari Jakarta ke Arab Saudi bisa-bisa menjadi kosong karena penumpangnya dilarang berangkat. Demikian juga perusahaan di Saudi yang telah membayar tenaga kerja dari Indonesia pasti akan menuntut. Padahal, mereka semuanya telah mendapatkan visa dari pemerintah Arab Saudi. "Dan ini pasti merusak citra kita di sini," katanya.

Pemerintah, seharusnya tidak melihat jenis paspor yang digunakan oleh mereka yang akan berangkat ke Arab Saudi. "Yang harus dilihat adalah jenis visanya. Ada visa untuk ziarah, bisnis, dan tenaga kerja. Dan selama ini tidak pernah ada masalah," katanya.

Aliun menilai, keputusan pemerintah RI itu bisa menyinggung pemerintah Arab Saudi. Pasalnya, mereka tidak pernah melakukan penangkapan seperti yang diberitakan di sini. "Mereka juga tidak melihat jenis paspor, tapi visa," ujarnya.

Dan juga harus diingat bahwa mereka datang ke Arab Saudi tidak mempergunakan pesawat terbang haji yang khusus mendarat di Madinatul Hujjah dan kemudian langsung diberangkatkan ke Mekkah atau Medinah. Mereka mendarat di pelabuhan internasional, terpisah dari rombongan jamaah haji.

"Saya memperkirakan ada semacam kesalahpahaman antara Departemen Agama dan Dirjen Imigrasi Departemen Kehakiman sehingga mengeluarkan larangan itu. Dan ini, disebabkan karena adanya laporan-laporan yang tidak benar," katanya. Aliun menyarankan, agar ada semacam tim yang anggota-anggotanya dari Depag, Depkeh, dan instansi lain segera dikirimkan ke Arab Saudi.

Bisa dipahami andai pihak yang dianggap kompeten menyelesaikan perkara ini adalah Departemen Agama dan Departemen Kehakiman--khususnya Ditjen Imigrasi. Sebab, dua instansi itulah yang bersangkut paut langsung dengan urusan paspor dan haji.

Hal itu juga diakui oleh Dirjen Imigrasi, Rony Sikap Sinuraya. Dia mengatakan, bahwa jajaran Ditjen Imigrasi memang memperoleh tugas khusus dari pemerintah untuk mengantisipasi permasalahan paspor hijau dan haji tersebut. "Penggunaan paspor khusus bagi calon jemaah haji didasarkan pada surat Menteri Agama, Mei 1990," ungkapnya.

Berdasarkan surat yang dikeluarkan oleh Menteri Agama yang kala itu dijabat oleh Alamsjah Ratu Prawiranegara dan Menteri Kehakiman Mudjono SH, ditegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia yang memiliki paspor umum (warnanya memang hijau, red) selama musim ibadah haji tidak berlaku untuk masuk ke Saudi Arabia dengan apapun tujuannya kecuali mendapatkan rekomendasi dari Menteri Agama.

Dengan rekomendasi itu--ditandatangani Menag dan Direktur Jendral Bimas Islam dan Urusan Haji--kehakiman akan memberikan tanda fasilitas keimigrasian (Faskim) agar petugas imigrasi di bandar udara memberikan izin perjalanan orang yang bersangkutan. Peraturan tersebut berlaku sejak 1 Syawal hingga selesainya Ibadah Haji atau tanggal 10 Dhulhijah.

Berdasarkan peraturan tersebut dan ditambah Surat Menteri Agama tanggal 16 April 1994 lalu, menurut Rony, jajarannya mengintensifkan pengawasan terhadap para WNI berpaspor umum (hijau) yang akan masuk ke Saudi Arabia. Dampaknya, 186 penumpang pesawat Garuda Indonesia Airways dengan nomor penerbangan 990 yang akan bekerja di Saudi Arabia, dicegah berangkat. "Sebanyak 173 di antaranya pada paspor biasa yang dimilikinya tidak terdapat Faskim, sehingga meski sudah memiliki visa, maka oleh petugas Imigrasi juga tetap tidak diperkenankan melakukan perjalanannya," kata Rony.

Tidak ada satupun dalam undang-undang negara Republik Indonesia dikenal dengan paspor hijau. Untuk itu, pihaknya berharap media massa menggunakan istilah yang baku berkaitan dengan masalah ini. "Jadi, gunakan saja istilah paspor umum, agar tidak membuat penafsiran yang keliru baik bagi masyarakat internasional maupun masyarakat di dalam negeri sendiri," kata Ronny.

Di samping itu juga, terdapat penumpang yang berasal dari pesawat Royal Jordan dengan nomor penerbangan MZ 189 sebanyak 27 penumpang WNI juga tidak memiliki faskim. "Sebelum Anda-anda masuk tadi, Dirjen Perhubungan Udara juga mengadu kepada saya tentang tidak diperkenankannya penumpang pesawat Saudi Air Lines karena masalah yang sama," ujar Rony. Para penumpang yang mengalami penundaan keberangkatan tersebut, menurut Rony, dipersilakan untuk kembali pulang ke rumah masing-masing.

Bagaimana posisi PT Garuda Indonesia menghadapi kebijakan itu? "Tugas kami kan mengangkut penumpang. Kalau mereka telah memenuhi semua dokumen (paspor dan visa) sesuai ketentuan keimigrasian, maka kita tak dapat menolak keberangkatan mereka. Kami hanya meneliti kelengkapan surat-surat itu, termasuk tiket pesawatnya," ujar Arif Hartanto, caretaker Kepala Bidang Humas Garuda pada Republika.

Jadi, bila ada jamaah haji yang menggunakan paspor umum (hijau), Garuda tak mempersoalkannya. Sebab, persyaratan bepergian ke luar negeri semuanya menjadi urusan Ditjen Imigrasi. Jika ada kebijakan dari imigrasi untuk melarang calon jamaah haji yang menggunakan paspor umum, maka Garuda akan memenuhi semua ketentuan itu. Pokoknya, Garuda akan selalu memenuhi ketentuan CIQ (Customs, Imigration, dan Quarantine) yang berlaku pada setiap negara, tandas Arif.

Bagi Garuda, yang jadi persoalan malah apabila ada pembatalan rencana penerbangan oleh calon haji berpaspor hijau. Jika mereka telah memesan pesawat Garuda, dan kemudian membatalkannya--atau tak diizinkan terbang oleh pemerintah--maka tentu saja jumlah penumpang pesawat Garuda akan berkurang.

Pengaruhnya bagi Garuda semata-mata soal load factor tersebut. Garuda, kata Arif, tak bisa tahu berapa jumlah calon haji berpaspor hijau menggunakan pesawatnya. "Sebab, mereka tak bedanya dengan calon penumpang biasa yang hendak bepergian ke luar negeri. Kita baru tahu setelah melakukan pemeriksaan, kalau hanya melihat dari daftar nama di tiket saja, tak dapat dipastikan," ujarnya.

Jadi, 'berangkat atau tidak' kuncinya ada pada imigrasi. Masalah penggunaan paspor ke Arab Saudi pada musim haji tersebut peraturannya telah lama dikeluarkan. Cuma sayang masih banyak yang pihak belum mengetahuinya.

"Keadaan ini bisa terjadi karena surat Menteri Agama tersebut memang hanya ditujukan kepada Menteri Kehakiman saja," kata Rony. Masalah ini sebenarnya sudah muncul pada musim haji sebelumnya. Namun, karena jumlah pengguna paspor hijau tidak begitu banyak, maka kasusnya mudah ditangani. Masalahnya menjadi terangkat setelah menyangkut masalah kuota haji.

Menurut Rony, berdasarkan laporan yang diperoleh perwakilan Pemerintah Indonesia di Jedah, sebenarnya warga negara Indonesia yang ditangkapi oleh pemerintah Arab Saudi bukanlah berkaitan dengan masalah paspor hijau ini. "Mereka itu ternyata terdiri WNI yang izin tinggalnya telah melampaui batas waktu (over stay) atau illegal stay dan sejenisnya," ujarnya.

Jumlah orang yang ditangkap berkaitan dengan masalah tersebut berdasarkan data tanggal 25 April 1994 hanya sebanyak 57 orang saja. Mereka itu, menurut Rony, telah dikarantina oleh Pemerintah Arab Saudi dan diperlakukan secara baik. Jumlah tersebut jauh lebih kecil dibanding dengan jumlah WNI yang saat ini bermukim di Saudi Arabia sebanyak 350 ribu orang. n

sumber : Disarikan dari Pusat Dokumentasi Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement