Jumat 07 Apr 2017 06:14 WIB

Menikmati Pukauan Yerusalem di Awal April

Masjid Al-Aqsa
Foto:
Dome of The Rock (Kubah Emas Yerusalem)

Kami pun meneruskan langkah kaki hingga masuk ke dalam sebuah bangunan berkubah emas iyang oleh Israel disebut Dome of the Rock. Di situ kami kemudian melakukan shalat Ashar berjamaah. Dari cerita banyak orang bangunan ini memang menjadi tempat ibadah dua agama, yakni Islam dan Yahudi.

Di lantai bawah ada bangunan yang disebut tembok ratapan. Sedangkan di bagian atasnya yang berfungsi sebagai masjid, terdapat sebuah batu besar yang ditaruh di dalam sebuah lemari kaca. Kaum Muslim menyebutnya sebagai batu 'Shakhrah', atau batu yang konon menjadi tempat pijakan Nabi Muhammad SAW sebelum naik ke langit sewaktu melakukan Isra’ Mi’raj untuk menerima perintah shalat.

Nah, mumpung di tempat itu dan tersedia ruangan yang lumayan lapang, maka kami pun menyempatkan diri untuk melaksanakan shalat Ashar berjamaah. Uniknya, meski bangunan ini didirkan oleh Kekhalifahan Islam, tepatnya di bangun antara tahun 687 hingga tahun 691 oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan (seorang khalifah di masa Ummaiyyah), di pucuk bangunan berkubah emas itu dahulu sempat terpasang lambang salib.

Dan simbol salib itu dipasang di pucuk kubah emas ketika Yerusalem jatuh dalam genggaman kekuasaan tentara Salib. Namun, ketika penguasaan Yerusalem kembali ke tangan umat Islam, maka lambang Salib itu pun kembali diganti dengan simbol bulan bintang. Lambang itulah yang terlihat sampai sekarang, meski Yerusalem kini secara 'de facto' di bawah kontrol Israel.

Seusai shalat kami pun menyempatkan diri untuk bersantai sejenak menikmati udara terbuka yang menaungi langit sore kota Yerusalem. Beberapa di antara jamaah sibuk mengambil foto, sedangkan jamaah lainnya khusyuk menikmati suasana sore di wilayah yang menjadi tempat suci tiga agama anak cucu Ibrahim: Islam, Kristen, dan Yahudi.

Menatapi bangunan dan tembok koa yang tua, lorong-lorong dan undakan tangga dari batu, maka pikiran ini mau tidak mau di bawa melayang ke masa silam, yakni berbalik ke  masa para nabi dan orang-orang terpilih ketika hidup serta tinggal di kota tua ini. Berbagai bentuk arsitektur bangunan yang serupa benteng ikut mengingatkan kesadaran atas fakta sejarah bahwa dari dahulu sampai hari ini, Yerusalem memang menjadi wilayah yang diperebutkan hingga selalu akrab dengan suasana peperangan.

Di tengah suasana syahdu itu, tiba-tiba terdengar pengumuman dari pemandu tour agar kami segera bersiap balik kembali  ke tempat pemberhentian bus. Kami pun memaklumi permintaan tersebut  karena memang seluruh anggota rombongan saat itu belum mempunyai tempat menginap dan barang barang bawaan dari para peziarah peserta tour juga masih berada di dalam bus. Ini terjadi karena kami memang sebenarnya turun di tengah jalan dengan maksud agar bisa segera shalat di dalam bangunan yang mempunyai kubah berkilau keemasan itu.

Maka kami pun bergegas berjalan menuju bus yang kemudian membawa kami ke Hotel St George Jerusalem.  Hotel ini hanya berjarak sekitar satu kilometer dari masjid suci itu. Rencananya, setelah sejenak melepas lelah, menjelang Maghrib pemandu tour akan membawa kami kembali ke kompleks Masjid al-Aqsa lagi.

"Tadi itu kita mengunjungi kubah Al Shakhrah atau kubah emas.  Jadi itu bukan Masjid al-Aqsa. Perlu diketahui kubah Al Aqsa  itu berwarna hitam.  Nanti kita bersama-sama pergi ke sana,’’ kata Atala, pemandu tour yang mengaku berasal dari Mesir dengan memakai bahasa Inggris yang 'lumayan' fasih.

Dan benar saja, menjelang Maghrib semua rombongan diajaknya pergi mengunjungi Masjid al-Aqsa. Lagi-lagi kami pun harus melewati lorong yang pada tadi siang dipenuhi pedagang suvenir. Namun berbeda suasana dengan waktu sebelum Ashar, saat senja ini pedagang sudah tidak lagi terlihat berjualan. Tempat jualan terlihat kosong. Kali ini hanya hanya ada seorang tukang roti  dengan gerobaknya dan dua gerai mini market yang ada di sepanjang lorong itu yang masih buka. Maka tempat itu menjadi kehilangan kesemrawutannya sehingga kami pun bisa berjalan melintasinya dengan sedikit lebih leluasa. Gangguan pedagang yang mengerubungi para peziarah pun tak lagi ditemukan.

Setelah melewati lorang kami pun memasuki tempat pemeriksaan peziarah. Lokasi dan personil penjaganya masih sama  seperti pada saat hendak masuk ke dalam bangunan kubah Shakhrah pada saat Ashar tadi. Namun sedikit berbeda dengan ziarah yang pertama, pemandu menyatakan bila ingin ke Masjid al-Aqsa maka kami harus mengambil jalan berbelok ke arah kanan. Ternyata posisi Masjid al-Aqsa itu letaknya memang berada di balik bangunan kubah emas tersebut. Dari arah yang agak jauh, sepintas masjid ini pun penampilan fisiknya biasa saja. Bahkan, bangunannya malah sedikit lebih kecil dan agak tersembunyi bila dibandingkan dengan bangunan Dome of The Rock yang megah itu.

Sesampai di dalam masjid, ternyata di situ sudah banyak pengunjung yang datang. Namun, rata-rata mereka terlihat merupakab para peziarah dari kawasan Arabia. Hanya kami yang tampak berbeda karena bertubuh dan berawajah khas Asia yang mungil atau berhidung tak mancung.

Ketika tiba waktu Maghrib, semua pengunjung bersama-sama melakukan shalat berjamaah. Bila dibandiingkan jumlah jamaah shalat dengan luasnya ruangan, maka kemudian terasa bila suasana masjid itu memang lengang karena saat itu hanya terisi dengan delapan shaf shalat saja. Meski begitu kami tak hirau dan tetap bisa melakukan shalat di masjid kuno yang mempunyai karpet berwarna merah tersebut dengan khusyuk. Suara bacaan imam shalat yang merdu berpendaran ke segenap sudut masjid yang banyak mempunyai tiang yang berfungsi sebagai penyangga atap bangunan berlengkung.

Dan sedikit berbeda dengan gaya bangunan Masjid al-Haram, ornamen dinding Masjid al-Aqsa lebih sederhana karena tak banyak terpampang kaligarafi. Sayangnya, kami tak dapat berlama-lama menikmati suasana Masjid al-Aqsa itu. Melalui pengumuman yang ditempel di dinding masjid dan juga dari pemberitahuan pemandu tour, setelah Isya penjaga keamanan Israel akan menutup masjid tersebut. Semua pengunjung nanti akan diminta ke luar dari tempat itu.

Maka persis seusai shalat Isya, kami pun pergi meninggalkan tempat itu. Kami kembali menyusuri lorong-lorong jalan batu yang berada di dalam kompleks Masjid al-Aqsa. Sembari berjalan pulang, beberapa jamaah berusaha mencari oleh-oleh, namun yang tersedia hanya kerajinan tangan biasa dan terlihat tak ada yang istimewa. Sebuah kaus bertuliskan ‘Yerusalem’ sempat menarik perhatian sehingga ingin kami beli untuk kenang-kenangan. Namun, niatan itu diurungkan setelah melihat kualitas kaos yang tidak terlalu baik.

"Kaos ini bukan buatan sekitar sini. Pasti barang yang didatangkan dari luar wilayah,’’ tukas seorang peziarah. Maka, pembelian pun diurungkan. Kami pun meneruskan perjalanan menuju hotel sembari terus berusaha menikmati kesyahduan suasana malam di dalam lorong kota tua Yerusalem. 

Nah, karena semakin malam suasana semakin sepi, maka pihak pemandu tour meminta kami berjalan sedikit  bergegas menuju ke penginapan. Dan sesampai di dalam kamar hotel, sembari berbaring dan menunggu kantuk datang, pandangan mata sempat melirik ke arah pemandangan di luar jendela hotel yang temaram. Saat itu batin pun benar-benar merasa yakin bila pada malam di awal April ini untuk pertama kalinya kami tidur bersama Yerusalem!                   

*Medina Rahma,Traveler Backpacker

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement