Oleh Muhammad Subarkah
Wajah Nenek Toer terlihat semringah. Senyumnya mengembang lebar. Bicaranya bersemangat. Saat itu dia mendapat undangan walimatul safar dari kemenakannya yang akan berangkat haji.
''Ya, saya besok ke rumahmu. Tapi, dijemput ya?'' Kemenakannya menjawabnya dengan mengangguk. "Siap Nek!" sembari berdiri tegak dengan gaya memberi hormat ala tentara kepada neneknya.
''Kamu ini, orang tua kok dijadikan ledekan.. Kenapa dulu tidak jadi tentara atau pegawai negeri saja seperti kakekmu...Ingat pegawai negeri dan juga haji,'' ujar sang Nenek. Sang cucu hanya bisa nyengir kuda. Sesaat kemudian dia mengucapkan salam sembari mencium tangan sang Nenek untuk meminta pulang.
''Hati-hati di jalan jangan ngebut. Nenek tahu dalam seminggu kau sudah dua kali nyungsep naik motor. Jangan berlagak jagoan kayak geng motor,'' nasihat Nenek Toer.
Seepas itu, hingga menjeleng sore hujan turun dengan lebatnya. Cuaca agak gelap menyelemuti ruangan tengah rumah. Meski begitu di dalam suasana kamar yang remang-remang, Nenek Toer tetap semangat membongkar isi almari pakaian. Dia ingin mencari sepotong sajadah berwarna kuning kemasan yang sepuluh tahun silam dibelinya sewaktu naik haji di Makkah. Ia tahu persis sajadah itu dibeli di toko Museeum yang ada di mall hotel Zamzam, Makkah.
Tapi, benda yang dicarinya tak kunjung ditemukan. Sajadah kuning yang terbuat dari serat nanas yang halus dan wangi tak kunjung terlihat. Isi almari pun sudah diobrak-abrik dan di keluarkan. Namun, benda yang dicarinya tetap hilang. Padahal, benda yang dahulu dibeli 30 real sangat disayanginya.
"Warni, di mana sajadah kuningku...?" tanya Nenek Toer dengan suara keras kepada pembantu rumahnya. Warni yang saat itu berada di dapur segera menemuinya. Dia kaget bukan kepalang ketika melihat almari sudah dikosongkan serta seluruh isinya dikeluarkan. Ruangan tengah kini seperti kapal pecah.
"Di mana Warni...sajadah kuningku di mana?'' katanya ketika melihat ke datangan pembantunya. Warni berusaha ikut membantu mencarinya. Tapi, sajadah itu tak kunjung ditemukan. "Wah, tak tahu Nek..Dulu Nenek simpan di mana," jawabnya. Mendengar jawaban itu Nenek Toer makin panik. Sajadah yang dalam beberapa tahun terakhir selalu menemaninya, khususnya ketika shalat Tarawih selama Ramadhan, menghilang tanpa jejak.
''Sudahlah Nek, jangan terlalu sedih. Besok ketika datang ke walimatul safar orang naik haji, Nenek nitip uang saja ke dia agar bisa belikan lagi sajadah sama yang baru,'' saran Warni. Nenek mengangguk setuju. Dia pun berencana menitipkan benda itu. "Aku dulu beli sajadah itu Makkah. Pasti masih dijual barang itu,'' sahutnya sembari bergumam.
Maka benar saja, keesokan paginya Nenek Toer begitu bersemangat berangkat ke rumah kemenekannya. Di sana sudah berkumpul banyak orang. Acara itu pun berlangsung meriah. Dua kambing dipotong. Aneka kue panganan disiapkan. Serombongan ibu-ibu pengajian yang akan meramaikan acara dengan melantunkan shalawat dan rebana sudah datang. Acara pesta selamatan orang naik haji benar-benar tak beda dengan acara pernikahan.
Seusai acara tanpa basa-basi Nenek Toer segera menemui kemenakannya. Dia pun menitipkan uang sebanyak 30 real kepada sang kemenakan agar membelikan sajadah berwarna kuning dan wangi yang dijual di pertokoan mall Zamzam Tower Makkah.
''Jangan lupa itu. Sajadah di jual di sana. Kiosnya bernama Museum. Milik orang Mesir,'' katanya kembali mengingatkan. Kemenekaannya pun menangguk menyetujuinya.