Jumat 28 Jul 2017 17:49 WIB

Investasi Dana Haji ke Infrastruktur, JK: Akan Menguntungkan

Wakil Presiden Jusuf Kalla
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Wakil Presiden Jusuf Kalla

IHRAM.CO.ID, MAKASSAR -- Wakil Presiden Jusuf Kalla menyakini dana haji yang akan diinvestasikan untuk pembangunan infrastruktur akan menguntungkan untuk masa yang akan datang. Meski Kalla mengakui adanya risiko investasi.

"Risikonya pasti ada, ongkosnya naik haji itu kan dibayar dengan dolar. Kalau tidak diupayakan bisa terkena inflasi, karena daya beli. Untuk itu harus diinvestasikan ke proyek yang menguntungkan," kata Jusuf Kalla di kampus Universitas Muhammadiyah Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (28/7).

Menurut Kalla, dana haji tersebut berasal dari uang muka para jamaah haji yang mendaftar hari ini dan naik hajinya pada 10-35 tahun ke depan. Sehingga, daripada dana tersebut tidak digunakan, lebih baik diinvestasikan ke infarstuktur dan usaha lainnya yang menguntungkan.

Selain itu, biaya naik haji dibayarkan menggunakan mata uang dolar, sehingga bila terus disimpan sampai 10 tahun ke depan biaya tentu tidak akan sama dengan pembayaran tahun ini, makanya dicarikan jalan agar bisa menguntungkan.

"Karenanya dana itu harus diinvetasikan misalnya infrastuktur pembangunan jalan tol karena akan meningkat terus pembayarannya dan investasi kelapa sawit juga bisa menguntungkan," ucap Kalla.

Bahkan, lanjut pria disapa JK ini, menjelaskan, bila dana haji diinvestasikan ke jalan tol, kalau keuntungan sampai 15 persen per tahun, maka jauh lebih tinggi dari inflasi malah akan menjadi deflasi.

Sebelumnya, rencana ini disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) usai melantik Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Istana Negara, Jakarta, Rabu (26/7). Menurut Jokowi, dana haji yang tersimpan di kas pemerintah dapat diinvestasikan untuk pembangunan infrastruktur yang lebih menguntungkan.

Diketahui, berdasarkan hasil auditor 2016, dana haji baik setoran awal, nilai manfaat dan dana abadi umat tercacat mencapai Rp 95,2 triliun dan diperkirakan hingga akhir tahun 2017 bisa mencapai Rp 100 triliun lebih. Kendati rencana pemerintah ini diyakini akan menguntungkan, di sisi lain juga mendapat penolakan dari berbagai lembaga baik bergerak di bidang perlindungan konsumen maupun lembaga islam seperti Majelis Ulama Indonesia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement