IHRAM.CO.ID, Wartawan Republika.co.id, Nashih Nashrullah, dari Makkah, Arab Saudi
Wajahnya bersinar. Kulitnya bersih. Jenggot hitam tebal memunculkan kewibawaan ahlul bait, keluarga Nabi Muhammad SAW yang mulia. Perawakannya tegap. Rambut hitam tampak terlihat dari bagian ujung yang tak tertutup imamah. Ini pertama kali saya bertemu dengan Syekh Ahmad Sayyid Ahmad bin Muhammad al-Alawy al-Maliky.
Saya memang belum pernah sekalipun berguru kepada beliau. Tetapi, guru-guru saya, sebagian pernah menimba ilmu kepada ayahandanya, almarhum Sayyid Muhammad.
Sebagian besar ulama Nusantara, pernah mengaji di Rushaifah. ‘Pesantren’ dan rujukan kalangan tradisionalis di Makkah. Ada tokoh yang sering menjadi referensi ‘mondok’ di Makkah, selain Sayyid Ahmad, satunya lagi adalah Syekh Muhammad bin Ismail al-Makky. Keduanya tinggal di Distrik Rushaifah, sekitar 15 menit perjalanan dari pusat Kota Makkah.
Begitu mendengar kabar Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, hendak bersilaturahim ke dua tokoh tersebut, di sela-sela kegiatannya sebagai Amir al-Hajj (Amirul Hajj), saya ber’azam harus ikut dan menyempatkan diri. Bertemu dzurriyah Syekh Muhammad, termasuk impian terbesar saya.
Saya mengetahui jejak pemikiran almarhum dari sejumlah karyanya yang monumental. Di antara kitabnya yang paling saya suka adalah karya berjudul mafahim yajib an tusahhah. Karya mengagumkan dari pakar hadis yang menggambarkan cara beragama kalangan salaf dan tradisionalis.
Rombongan kami tiba di kediaman Sayyid Ahmad. Sebuah kompleks yang cukup besar. Ada pintu gerbang. Masjid repersentatif lengkap dengan tempat wudhu dan halaman yang luas. Memasuki masjid, melintas sosok Syekh Ahmad, seperti yang saya gambarkan di atas.
Malam itu, Jumat (26/8), akan berlangsung majelis pembacaan Burdah al-Madih, karangan Syekh Syaraf ad-Din Abu Abdullah Muhammad al-Bushiri.
Tampak sejumlah santri, alumni, dan beberapa jamaah haji Indonesia, Nigeria, dan beberapa jamaah negara lain, memadati ruangan dalam masjid. Kami pun melaksanakan shalat Maghrib berjamaah dipimpin langsung Buya Ahmad, begitu para santri akrab memanggil guru mereka, Sayyid Ahmad. Semua jamaah lalu berkesempatan bersalaman dengan Buya Ahmad. Tak terkecuali saya. Saya ingin ngalap berkah dari orang salah dan terkenal dengan kepakaran dan kesalehannya itu.
Saya mundur sejenak ke saf bagian belakang dari keramaian dan bersujud syukur. Tunai sudah nazar saya. Bertemu putra Sayyid Muhammad dan mencium tangannya yang lembut. Beginilah kami diajarkan menghormati guru dan orang-orang saleh. Seperti inilah kami dididik mencintai para ulama.
Lantunan syair demi syair gubahan Imam al-Bushiri pun dibacakan secara bersama-sama. Ada pesan pengagungan, kecintaan, kerinduan, dan pengakuan diri atas segenap kekurangan diri. “Cinta kepada ulama akan menghubungkan rasa cinta kita kepada Baginda Rasulullah SAW,” kata Buya Ahmad.
Ulama dan ilmu adalah satu kohesi tak terpisahkan. Ulama mentransformasikan ilmu, pemegang estafet risalah kenabian. Melalui para ulamalah kita mengenal agama ini. Agama diajarkan dengan sanad, jejaring penutur ilmu, tanpa sanad akan menimbulkan kontradiksi dalam sebuah bangunan dan tradisi ilmu. Agama itu adalah sanad, ungkap Abdullah Ibn al-Mubarak, ulama tersohor dari generasi setelah tabiin.
Di sudut masjid kediaman Buya Ahmad, Distrik Rushaifah ini, kembali hati bergetar. Terlintas di bayangan bagaimana para generasi awal begitu mencintai Rasulullah.
Lewat bait demi bait lantunan syair Imam al-Bushiri yang dikumandangkan sangat merdu, kami seakan menghadirkan kembali, untuk sejenak, di tengah kepadatan kegiatan kami, kerinduan dan kecintaan kami kepada Sang Junjungan. Tuhan. Sungguh nikmat suasana ini.
Di pojok belakang masjid, wajah bersih dan bersinar dari Buya Ahmad, terlihat jelas. (Semoga) saya dan kita semua, tetap dikarunia rasa kecintaan dan ketaatan terhadap ulama, di tengah-tengah pancaroba yang tengah menimpa umat.
Detik-detik perpisahan kami dengan Buya Ahmad, mengingatkan saya dengan ‘curhatan’ Imam Syafi’i : “Saya mencinta orang-orang saleh, tetapi saya tidak termasuk bagian mereka (orang saleh), barangkali saya akan mendapatkan syafaat dari mereka.” Sebagai bukti kecintaan itu, aku cium tanganmu wahai khadim Rushaifah, Sayyid Ahmad bin Muhammad al-Alawy al-Maliky.