IHRAM.CO.ID, Setiap jamaah mendamba kemabruran dalam berhaji. Makanya, salah satu doa yang selalu dipanjatkan mereka adalah mendapatkan haji mabrur. Lalu, apakah kemabruran itu?
Berikut penjelasan Naib Amirul Hajj yang juga Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Dr. Abdul Mu’thi di Makkah, kemarin. "Saya berpendapat, kemabruran haji, indikatornya justru setelah menunaikan ibadah haji. Ini sama seperti ibadah lainnya, misalnya puasa. Kita berpuasa tujuannya adalah untuk menjadi manusia bertakwa. Selama kita menunaikan ibadah puasa, kita melakukan amalan-amalan, baik itu ibadah, sedekah, dan itu merupakan bagian dari kriteria hamba yang bertakwa. Nah, ukuran takwa itu adalah setelah berpuasa," ujarnya.
Pada ibadah haji, kita melakukan hal yang sama. Selama haji, kita melakukan amalan-amalan yang merupakan ciri-ciri haji mabrur, baik yang merupakan rukun haji, wajib, maupun sunah haji. Haji ini adalah proses ar-riyadhah atau pelatihan. Pelatihan itu adalah proses pembentukan seseorang untuk menjadi manusia yang memiliki kualifikasi haji mabrur.
Oleh karena itu, kalau kita baca hadis, kriteria haji mabrur bermacam-macam. Ada yang menggunakan parameter sambung silaturahim, sedekah, banyak ibadah, dan lain lain. Sehingga, ar-riyadhah bermakna proses pembentukan habit atau kebiasaan. Dari situ lahirlah pembiasaan. Lalu, lahirlah karakter atau kepribadian. Proses inilah yang harus terus dilakukan oleh mereka yang pergi haji.
Misalnya, menghayati waktu luang untuk berzikir, menghayati setiap rukun, wajib, dan sunah haji dengan mencoba menghayati nilai-nilai haji, kemudian merefleksikan amalan-amalan yang ada di manasik haji. Sehingga, tidak hanya mengejar keterpenuhan, keabsahan berdasar rukun dan wajib haji. Tetapi, juga menyertakan nilai nilai akhlakul karimah di dalam ibadah haji itu sendiri.
Jadi, kata Mu'thi, yang dimaksud mabrur adalah orang yang senantiasa dimudahkan Allah dalam berbuat kebaikan, baik selama ibadah haji, bahkan setelahnya. Menurut dia, sebagaimana janji Allah, kalau orang senantiasa berbuat baik, maka balasannya adalah surga. "Itulah makna haji," katanya.
Jadi, kalau orang di sini (Tanah Suci) menghabiskan seluruh waktu untuk berzikir kepada Allah, memenuhi syarat, rukun, wajib haji, tetapi ketika pulang kemudian berbuat maksiat, itu justru bukan haji yang mabrur. Sebaliknya, ketika di sini (tanah suci) dia terbatas, artinya tidak mampu melaksanakan keutamaan haji, tetapi ia memenuhi semua ketentuan manasik haji, lalu ia membiasakan diri, kemudian meningkatkan ibadah, baik di sini maupun di Tanah Air, itu merupakan haji yang mabrur.
Jadi mabrur itu bukan sesuatu yang diberikan begitu saja. Itu adalah proses yang harus dibentuk. Birrun berarti kebaikan. Abraarun, orang yang senantiasa berbuat baik. Nah, mabruur artinya terbentuk atau dibentuk agar senantiasa berbuat baik. Jadi, dia menjadi sesuatu yang merupakan karakter dirinya. Sehingga, ia melakukan kebaikan tanpa melalui pertimbangan.
Perbuatan baik itu merupakan bagian dari akhlak yang telah terinternalisasi. Dalam bahasa Al Ghazali, min ghairi fikrin wa ruwiyatin. Tanpa dipikirkan atau rancang-rancang. Semuanya sudah menjadi bagian dari kepribadinnya. Sehingga, ia menjadi orang yang senantiasa berbuat kebaikan, untuk dirinya ataupun orang lain.