IHRAM.CO.ID, Wartawan Republika.co.id, Nashih Nashrullah, dari Makkah Arab Saudi
Kehebohan pemberitaan Nenek Mariyah Abdul Ghani, perempuan asal Lombok, Nusa Tenggara Barat yang didaulat sebagai jamaah haji tertua dengan usia 104 tahun itu, membuat saya agak sedikit repot. Media Center Haji MCH 2017, meminta saya menjadi narahubung dengan Kementerian Penerangan Arab Saudi yang berkepentingan besar mengangkat kisah humanis dari Sang Nenek.
Nama Mariyah masuk ke dalam sekian topik liputan Kementerian Penerangan Saudi terkait hal-hal unik yang ada di tiap negara pengirim jamaah haji. Saya tak hendak bercerita lagi mengenai gegap gempita Mariyah, tapi bagaimana pengalaman dan petualangan baru justru saya dapatkan melalui perantara Mariyah, yaitu berkendara dengan roda dua menyusuri jalanan Makkah.
Siang itu, Rabu (30/8) sekira pukul 12.00 waktu Arab Saudi, Abd al-Aziz (baca: Abdul Aziz) al-Qinawi, supervisor yang ditugaskan Kementerian Penerangan Arab Saudi untuk tim Media Centre Haji (MCH) Indonesia 2017, mendatangi ruang MCH di Kantor Daker Makkah. Saya pikir urusan dengan Mariyah sudah kelar.
Sehari sebelumnya saya mengantarkan Abdul Aziz bersama dua wartawan dari TV Saudi, chanel resmi kerajaan, untuk mewancarai Sang Nenek di pemondokannya Hotel Barkat Burhan, Mahbas Jin, dini hari! Ternyata Kementerian Penerangan membutuhkan dokumen-dokumen resmi Mariyah dan enam pendampingnya untuk berwukuf dan mabit di fasilitas yang telah disiapkan kerajaan. Dokumen harus segara diambil siang itu juga.
Saya sebetulnya agak berat hati sebab Rabu hari itu pukul 15.00 seluruh petugas, termasuk tim MCH harus berangkat menuju Padang Arafah. Jalanan Makkah sepekan sebelum puncak haji sangat padat. Ini artinya mustahil saya akan kembali dari Hotel Barkat Burhan ke Kantor Daker Makkah tepat waktu. Jika telat, bisa gawat: begitu gumam saya. Tetapi di luar dugaan, ternyata Abdul Aziz sudah mengantisipasi kondisi tersebut. Dia menyiapkan sepeda motor. Apa? “Ya dabbabah, saya bawa roda dua,” kata Abdul Aziz.
Baiklah saya iyakan. Benar saja rekan Abdul Aziz, ‘Adil Sulaiman telah menunggu di luar gedung. Di depan ‘Adil persis terpakir motor butut pabrikan Jepang. Warnanya merah. Cukup tua untuk ukuran sepeda motor, dibandingkan dengan aneka jenis roda dua keluaran teranyar di Tanah Air. Daya tampungnya pun demikian. Jika kami naiki bertiga, tentu akan sempit.
Bismillah. Si Abdul Aziz memilih berada paling belakang. Sebuah sajadah dibentangkan sebagai alas besi tambahan di bagian belakang jok motor. ‘Adil mengemudikan kemudi. Saya duduk di tengah. Kami pun berangkat tanpa helm. Hanya Adil yang mengenakan helm dan masker, itu pun helm caping. “Nikmati petualangan ini Muhammad,” kata ‘Adil.
Benar memang. Ini pengalaman pertama sepanjang hidup saya, menyusuri jalanan Makkah. ‘Adil memilih rute melewati gang-gang yang sudah tentu asing bagi saya. Sebenarnya lebih mengerikan mengendarai motor di sini. Apalagi bila hendak menyeberang jalan. Harus ekstra hati-hati. Ini juga yang dilakukan ‘Adil. Dengan hanya berpegangan satu tangan, tangan kirinya lantas dia posisikan sebagai lampu sein. Kami memotong jalan.
Dengan lihai, ‘Adil bermanuver mencari celah-celah mobil untuk laju motor kami. Eits..kaki saya nyaris kena. “Ala mahlak ya ‘Adil, pelan-pelan,” kata saya. Dia meminta saya tenang, semua aman terkendali. Sesekali Abdul Aziz membenarkan posisi duduknya. Jok yang sempit nyaris saja membuatnya terpental dari motor. Berkendara di jalanan Makkah memang ekstrem.
Hembusan angin tidak malah bikin sejuk, justru panas menyengat muka. Tak tampak raut muka kepanasan dari Abdul Aziz. “Hebat sekali Anda saudaraku, apakah tidak merasakan panas ini,” tanya saya ke Abdul Aziz. Dia menjawab telah terbiasa dengan udara Makkah. Bayangkan saja, tanpa tutup kepala dengan kecepatan motor lumayan kencang. Semoga saja aman, dan syukurlah, kurang lebih 20 menit motor kami tiba di Hotel Barkat Burhan.
Dengan kecepatan seperti ini, saya tidak akan terlambat rombongan menuju Padang Arafah. Di sepanjang jalan pulang dari hotel Sang Nenek, jalanan makkah benar-benar padat. Motor kami menyusuri ‘rute-rute tikus’ Makkah. Jarang sekali dapat pengalaman begini, terimakasih boncengannya ‘Adil. Kapan giliran saya bonceng Anda di jalanan Jakarta?