Oleh: Eko Oesman*
Butuh delapan tahun bagi Kementerian Agama melalui Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) untuk meraih indeks kepuasan jamaah tertinggi, yaitu 84,85 persen. Bayangkan lama waktu dan ragam upaya yang telah dilakukan.
Salah satu aspek yang paling penting adalah, Kemenag mempercayakan survei penilaian kepuasan ini kepada BPS. Sesuai undang-undang yang dimiliki BPS diperbolehkan membantu kementerian lembaga dalam hal melakukan konsultasi, bimbingan dan kerja sama terkait penyediaan data.
Muncul pertanyaan, mengapa butuh waktu lama? Pertama, jika saja BPS melaksanakan survei sesuai pesanan, maka cukup satu dua tahun saja angka indeks 85 persen yang selalu jadi target Indikator Kinerja Utama (IKU) Dirjen PHU akan sangat mudah tercapai.
Kebetulan saya terlibat dalam pengawalan tim survei ini selama kurun waktu delapan tahun itu. Dan kebetulan ke dua adalah sesuai izin dan rezeki dari Allah saya dua kali menjadi petugas survei haji. Sebagian teman menjuluki saya Haji Muhidin seorang tokoh dalam sinetron yang berkali-kali naik haji. Lainnya menggelari saya Haji Abidin Mansur Kosasih yang berarti Haji Atas Biaya Dinas Melaksanakan Survei Ongkos Dikasih. Alhamdulillah.
Selama kurun waktu delapan tahun itu saya mengamati langsung upaya dan program perbaikan yang dilakukan PHU. Satu catatan menarik, tidak ada upaya terstruktur mulai dari level Dirjen hingga petugas di lapangan yang mencoba memengaruhi independensi petugas survei. Saya masih ingat persis ketika kami melaporkan hasil survei kepada bapak Anggito Abimayu selaku Dirjen PHU tahun 2011 lalu, dia berujar "silakan saja BPS mengumumkan hasil survei ini secara transparan, apa adanya, merah atau biru itulah rapor kami".
Waktu itu angka indeks naik dari 81.45 ke 83.31 persen. Setahun kemudian angka terjun bebas ke 81.32 persen. Penurunan tajam 1.99 poin itu perlu perhatian khusus. Pertaruhan yang mahal untuk kursi Dirjen PHU.