IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan Arab Saudi akan berdampak pada biaya pelaksanaan ibadah umrah di Indonesia. Pasalnya, pada awal tahun ini Pemerintah Arab Saudi memberlakukan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar lima persen terhadap sejumlah barang atau jasa.
Sementara, Kementerian Agama sebelumnya telah menetapkan biaya referensi minimal ibadah umrah sebesar Rp 20 juta. Namun, dengan adanya PPN lima persen tersebut, Kemenag akan mempertimbangkan kembali biaya standarisasi tersebut. "Ini akan menjadi pertimbangan. Kemarin kan Rp 20 juta standarnya," ujar Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus, Arfi Hatim saat dikonfirmasi Republika.co.id, Jumat (5/1).
Pria yang baru saja menjabat Direktur Bina Umrah ini menjelaskan, akan ada beberapa komponen yang kemungkinan akan terdampak dengan adanya pajak lima persen di Arab Saudi. Di antaranya biaya akomodasi, hotel, konsumsi, dan transportasi di Arab Saudi.
Menurut dia, penetapan biaya perjalanan ibadah umrah sepenuhnya memang menjadi hak Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) atau travel umrah. Namun, dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat Kemenag juga tidak akan lepas tangan, apalagi terkait dengan kebijakan.
Ia mengatakan, pihaknya masih akan melakukan komunikasi dengan asosiasi penyelenggara umrah untuk mengkaji kembali biaya referensi umrah. Jika pun nanti ada kenaikan, maka harus sesuai dengan beberapa komponen yang terkena imbas kebijakan tersebut.
Jadi tidak bisa dipukul rata. Artinya, kalau biaya umrah itu Rp 20 juta, bukan berarti lima persen daripada Rp 20 juta itu. Kalau yang terkena biaya PPN itu cuma akomodasi, konsumsi dan transportasi, inilah yang dikenakan, tidak secara keseluruhan," ucapnya.
Sementara, biaya perjalanan umrah yang digunakan di dalam negeri, seperti halnya biaya tiket pesawat tidak akan terkena kebijakan Arab Saudi tersebut. Karena itu, penyelenggara umrah harus menetapkan biaya umrah sesuai dengan per komponen tersebut. "Misalnya komponen tiket kan tidak kenakan biaya lima persen. Jadi yang berimbas itu yang terkena secara langsung dengan PPN lima persen itu," kata Arfi.
Seperti diketahui, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) mulai memberlakukan pajak pertambahan nilai (VAT) untuk pertama kalinya. Mayoritas barang mewah dan jasa akan dikenakan VAT atau PPN sebesar lima persen di sana.
Negara-negara Kawasan Teluk sudah lama menarik pekerja asing dengan kehidupan bebas pajak. Namun, kini pemerintah-pemerintah negara di sana ingin meningkatkan pendapatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) mereka karena rendahnya harga minyak. VAT mulai berlaku di Saudi dan UEA pada 1 Januari 2018.