IHRAM.CO.ID, AMBON -- Haji Taher, terdakwa yang berperan dalam proses pembuatan ijazah palsu kepada Suwardy alias Ahmad Irfansah Riyadi untuk mengikuti seleksi calon bintara polri di Polda Maluku pada tahun 2016 lalu mengakui menerima adanya transfer dana Rp170 juta dari saksi.
"Saya menerima dana transfer dana dari saksi ketika yang bersangkutan melakukan perbuhanan ijazah dan identitas baru dan memperlancar proses seleksi bintara polri," kata saksi dalam persidangan dipimpin ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Ambon, Christina Tetelepta didampingi Syamsudin La Hasan dan Hamzah Kailul selaku hakim anggota di Ambon, Rabu lalu (24/1).
Pengakuan terdakwa diungkapkan ketika mendengar keterangan Suwardy sebagai saksi yang dihadirkan Jaksa penuntut umum Kejati Maluku, Awaludin.
Saksi mengakui saat datang dari Sulawesi Tenggara sudah mendengar nama terdakwa bersama istrinya Naspiah (almarhumah) yang sering membantu orang lain untuk melakukan perubahan ijazah. Atas penjelasan tersebut, saksi tidak membantahnya karena dia bersama istrinya yang baru meninggal dunia delapan hari lalu ikut membantu proses pembuatan ijazah dan identitas palsu kepada orang lain.
Untuk pembuatan ijazah palsu sendiri, terdakwa mengakui saksi Tety Sriyenti yang merupakan rekan guru istrinya Napsiah (almarhumah) diberikan uang Rp 500 ribu untuk fotocopy ijazah dan stempel tiga jari.
Saksi Tety Sriyenti sendiri telah dijatuhi vonis 1,8 bulan penjara sedangkan saksi Suwardy alias Ahmad Irfansah Riyadi dijatuhi hukuman 1,2 tahun penjara oleh majelis hakim PN Ambon awal Januari 2018. Terdakwa Haji Taher dijerat jaksa melanggar pasal 362 ayat (1) KUH Pidana.
Terungkapnya kasus ijazah palsu ini ketika Ahmad Irfansyah Riyadi yang asli dalam sebuah acara reuni mendapati identitasnya sebagai seorang anggota Polri di Polda Maluku. Setelah dilaporkan ke polisi baru diketahui kalau data identitas pribadinya diberikan oleh Napsiah, oknum guru SMP Negeri 16 bersama suaminya Taher yang berprofesi sebagai pekerja bengkel.
Dalam persidangan sebelumnya, terdakwa Tety menuturkan kalau blanko ijazahnya disediakan oleh Napsiah yang merupakan isteri Taher. Sedangkan dirinya hanya diminta Napsiah dan Taher untuk melayani Suwardi memasang pas photo dan stempel tiga jari pada lembaran ijazah palsu yang telah disediakan atas nama Ahmad Irfiansyah Riyadi,
"Kami hanya menempelkan foto milik terdakwa Suwardi ke blanko ijazah SD hingga SMA dan memegang tangannya untuk cap tiga jari," akui Tety Sriyenti.
Menurut Tety, Taher adalah seorang pemilik bengkel yang memperkenalkan Suwardi kepada dirinya, sedangkan isteri Taher merupakan rekan gurunya di SMP Negeri 16 Waiheru Ambon yang mengajar bidang studi PPKN.
"Awalnya saya diberikan tiga blanko ijazah atas nama Ahmad Irfiansah Riyadi yang sudah tertera cap dan tanda tangan kepala sekolah serta daftar nilainya juga lengkap tetapi tidak diketahui siapa yang menulisnya," kata saksi.
Kemudian istri Taher memberikan uang Rp 500.000 dengan alasan untuk keperluan salinan (fotocopy) ijazah. Sementara Suwardi alias Ahmad Irfansah Riyadi mengaku kalau dirinya telah empat kali mentransfer uang yang totalnya mencapai Rp 265 juta kepada saksi Taher.
"Untuk penyetoran pertama sebesar Rp 25 juta yang akan dipakai Taher dalam proses pembuatan ijazah SD-SMA dan transfer kedua senilai Rp 30 juta untuk biaya administrasi," kata Suwardi.
Ketika mengikuti proses seleksi calon bintara Polri di Polda Maluku, Taher kembali meminta uang senilai Rp 170 juta sehingga ditransfer. "Terakhir saya diminta memberikan uang Rp 40 juta oleh Taher setelah dinyatakan lulus seleksi dan mengikuti pendidikan Secaba Polri," kata Suwardi.
Meskipun Taher sudah ditetapkan sebagai tersangka, namun penasihat hukum Tety Sriyeni, Abdusyukur dan Rizal Ely juga meminta majelis hakim menetapkan isteri Taher sebagai tersangka karena menyediakan blanko ijazah palsu, namun yang bersangkutan telah meninggal dunia.