IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Haji, Ade Marfudin menilai kebijakan Kementerian Agama (Kemenag) terkait penyelenggaraan ibadah haji tahun 2018 dinilai tumpang tindih. Menurut dia, di sisi lain Kemenag ingin meningkatkan layanan katering di Arab Saudi, tapi di sisi lain Kemenag mengusulkan agar ongkos haji atau BPIH tahun ini naik 2,58 persen atau Rp 900.670.
"Ini kan jadi tumpang tindih dalam kebijakan pemerintah dalam menentukan, di sisi lain ingin ada peningkatan prestasi, ada peningkatan layanan makanan di sana, di sisi lain jamaaah ada terbebani sedikit (dengan BPIH)," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (27/2).
Ade mengapreasiasi keinginan Kemenag untuk meningkatkan layanan makan untuk jamaah di Makkah dari yang sebelumnya 25 kali menjadi 40 kali. Namun, menurut dia, Kemenag harus memikirkan sesuatu yang lebih penting yang justru bisa membebani jamaah haji. "Nah BPIH tambah, kenapa pemerintah harus nambah layanan makanan di sana?," ucapnya.
Menurut dia, jika pun akan meningkatkan layanan makan jamaah, hal itu bisa dilakukan secara bertahap misalnya dengan 30 kali makan. Karena, selama ini, jamaah haji juga dibekali dengan living cost sebesar 1.500 real untuk mencukupi kebutuhannya selama di tanah suci.
Ade pun mempertanyakan dana yang digunakan untuk peningkatan layanan makan tersebut. Jika layanan makan itu diambil dari dana optimalisasi, kata Ade, maka lebih baik pemerintah menggunakan dana optimalisasi itu untuk menutupi usulan kenaikan BPIH yang sebesar 2,58 persen itu saja.
"Kalau dari dana optimalisasi, kenapa itu yang 2,5 persen tidak dioptimalisasikan, malah kalau makan yang dioptimalisasikan itu menjadi aneh," ucapnya.
Apalagi, menurut dia, dana optimalisasi tersebut masih dalam kategoti abu-abu, artinya dalam dana optimalisasi tersebut masih terdapat uang jamaah haji yang masih belum berangkat. Tapi, uang tersebut malah akan digunakan untuk jamaah haji yang sudah berangkat.
"Sudahlah, uang pakai living cost saja dihabiskan," kata Sekretaris Departemen Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) ini.
Dalam hal ini, Ade berharap pemerintah bisa melihat hal yang priotas dalam penyelenggaraan ibadah haji 2018, sehingga jamaah haji tidak terbebani. "Jadi ini pemerintah harus melihat adalah prioritas atau urgensi yang mana, apakah mendahulukan makannya atau ini ditambahkan beban BPIH-nya," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kemenag, Sri Ilham Lubis membenarkan bahwa dana yang akan digunakan untuk peningkatan layanan makan tersebut akan diambil dari dana optimalisasi.
"Ya, dari dana optimalisasi dana haji, indirect cost," ujar Sri saat dikonfirmasi lebih lanjut.
Namun, Sri belum bisa menjelaskan apakah dengan adanya peningkatan layanan makanan tersebut, uang living cost akan dikurangi atau tidak. Karena, menurut dia, saat ini pihaknya masih menunggu hasil pembahasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) bersama Komisi VII DPR.
"Tunggu keputusan BPIH, kita masih dalam pembahasan ini. Nanti kalau sudah ditetapkan BPIH-nya baru nanti diumumkan," ucapnya.
Ia menjelaskan bahwa dana yang digunakan untuk penyelenggaraan ibadah haji berasal dari dana yang dibayarkan jamaah haji, baik yang direct cos ataupun indirect cost. Ia berharap peningkatan layanan malan yang sudah direncanakan tersebut dapat terwujud.
"Harapan kita mudah-mudahan peningkatan layanan yang sudah kita rencanakan ini dapat terwujud," katanya.
Sebagai informasi, komponen BPIH yang dibayar langsung oleh Jamaah Haji pada 2017 lalu terdiri dari tiket pesawat dan passenger service charge, pemondokan Makkah, dan Living Allowance (uang bekal jamaah). Besaran rata-rata BPIH yang dibayar langsung oleh jamaah tahun 2017 sebesar Rp 34.890.312.
Selain tiga komponen tersebut, akan ditanggung oleh dana optimalisasi haji. Pada penyelenggaraan ibadah haji 2017, setiap jamaah mendapatkan dukungan pembiayaan dari dana optimalisasi rata-rata sebesar Rp 26.896.478. Dana optimalisasi haji tersebut diperuntukkan untuk membayar pemondokan di Madinah, sebagian pemondokan di Makkah, konsumsi selama di Arab Saudi, transportasi, dan juga juga GSF.