Selasa 03 Apr 2018 05:05 WIB

Jurnalis Peliput Haji Insyaflah, Tuluslah!

Ketulusan hati dan kesadaran akan arti 'istito'ah' hal mutlak para peliput haji.

Petugas haji dari unsur TNI-Polri mengantarkan jamaah haji tersesat.
Foto:
Kendaraan yang membawa Jamaah haji melaju menuju Muzdalifah usai berwukuf di Arafah, Kamis (31/8) waktu setempat.

                                                            *****

Jelas memang harus ada ‘auto kritik’ kepada hasil kerja para peliput haji ketika tinggal di Arab Saudi. Ini sangat penting di dalam mengantipasi mutu layanan di kala zaman berubah sangat cepat. Selain itu juga untuk melihat kesadaran (keinsyafan) dan ketulusan niat dari para peliputnya. Mereka yang tak sadar dan insyaf pasti tidak bekerja melaksanakan tanggungjawabnya secara maksimal.

Media masa konvensional  juga harus sadar bahwa mereka bukan lagi 'panglima informasi'. Di samping mereka ada tantangan dari media sosial dengan berbagai perangkatnya. Apalagi, apa yang terjadi di tanah suci selama musim haji pada waktu yang sama bisa langsung diketahui publik di tanah air. Kalau tidak diantisipasi maka jelas akan menimbulan kehebohan karena ketiadaan fakta yang sebenarnya terjadi.

photo
Petugas haji mengecek kesiapan tenda di Arafah.

Selama ini tampak jelas para jurnalis yang berangkat haji tidak siap lahir batin. Mereka tidak tahu dan tidak mau tahu mengenai seluk beluk pelaksanaan ibadah haji di Makkah, Jeddah, atau Madinah. Kebanyakan mereka datang dengan pengetahuan minim akan soal itu. Akibatnya, mereka ‘geradak-geruduk’ ketika harus melaporkan liputannya.

Berbagai alasan yang lazim dikatakan, hal itu sebagai akibat dari soal kendala akomodasi, gegar budaya, usia dan kendala tubuh lainnya, hingga  kejujuran dan ketulusan akan ‘minimalnya’ niat untuk melayani. Mereka memandang kepergiannya ke Makkah merupakan ‘hadiah’ untuk berhaji. Padahal mungkin mereka berhaji tapi kualitas ‘isto’ah’ menjadi tak jelas karena mereka tidak menunaikan kewajiban dan beban kerjanya dengan baik.

Alhasil, tak ayal bila bila banyak keanehan yang terjadi. Ada wartawan ketika melliput haji hanya sibuk mendekam di kantor ‘daker’ saja. Mereka mengandalkan berita dari rilis atau omongan pejabat petugas haji. Mereka malas pergi ke luar untuk liputan karena takut sengatan panas atau takut hilang di tengah hiruk pikuk kota suci. Mereka ke luar hanya untuk belanja dan beribadah. Sesampai di Makkah yang ada dipikiran adalah bagaimana mengirmkan oleh-oleh ke tanah air, sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya.

Yang konyol lagi, pernah terjadi kasus petugas haji malah sibuk pacaran. Dan ini baru ketahuan ketika semua petugas pulang ternyata ada laporan dari keluarganya bahwa si peliput haji itu belum sampai di rumah. Ada juga jurnalis perempuan yang sesumbar akan membuat liputan esklusif selama di Makkah, padahal kondisinya tak memungkinkan. Dia sama sekali tak sadar bahwa dirinya adalah seorang perempuan (Makkah tidak ada perempuan yang pergi ke luar rumah seorang diri) dan tak paham budaya Arab. Lagi pula dia tak paham bahasa Arab.

photo
Minum air zamzam yang berada dipusat Khudai.

Yang lucu lagi, adalah ada sebagian wartawan yang pelit mengongkosi kepergian ke Arabnya itu. Uang bekal yang di dapat dari negara (Kemenag) malah seluruhnya diberikan kepada keluarganya. Dia di sana hidup berbekal jatah makan dari 'daker' dan berharap uang sampingan. Atau malah, ada yang menjadikan uang bekal itu dianggap rejeki nomplok untuk bayar ‘uang muka’ cicilan rumah.

Atau ada juga jurnalis yang sibuk beribadah dengan melalaikan kewajibannya membuat liputan. Mereka buat liputan seadanya. Mereka lebih pilih tidak mau diganggu shalat dengan ibadahnya, layaknya jamaah haji para umumnya. Mereka abai akan kewajiban dengan tetap menganggap bahwa selama di Makkah adalah untuk berhaji, bukan melayani jamaah dengan membuat berita yang baik. Dia pun tak ingat bahwa haji sebenarnya terpusat dalam beberapa hari saja, waktu yang tersisa lainnya adalah melayani dan menjalankan kewajiban liputannya. Padahal pekerjaan model  ini dimudahkan dengan perangkat teknologi.

Sampai sekarang memang belum ada 'sylabus' baku mengenai peliputan haji. Yang ada hanya ‘time table’ sementara dan itu lebih bersifat individual. Ke depan ini jelas pekerjaan rumah yang harus dibenahi bagi setiap petugas dan penyelenggara liputan haji. Soalnya publik Muslim Indonesia menginginkan  liputan media yang tidak ‘de javu’ alias ‘as usual’.

Maka petugas peliput haji insyaflah, tuluslah, dan lurusan niat anda!

 

*Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika dan mantan petugas peliput haji di tahun 2011.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement