Rabu 02 May 2018 05:03 WIB

CFD, Monas, Arab Spring, dan Tragedi Zakat Pasuruan

Semoga tertib sosial negeri ini masih tetap terjaga.

Revolusi Arab Spring di Tuniasia.
Foto: trt world
Revolusi Arab Spring di Tuniasia.

Oleh: Muhammad Subarkah*

Rusuh sosial, perang, perpecahan negara bisa muncul dari soal yang kiranya dianggap sepele, terkait orang biasa, dan dari sebuah tempat terpencil. Cermin ini sudah terjadi sejak zaman dahulu kala, misalnya dari Perang Diponegoro yang diantaranya sumbunya dipicu dari kasus pembuatan jalan pada tahun 1825, atau juga dari munculnya ‘Geger Banten’ (Pemberontakan Petani Banten tahun 1888) akibat dari kesumat asisten residen Belanda di Serang yang merasa berisik karena mendengar adzan yang mengganggu ’siesta’ (tidur siang)-nya.

Begitu juga kasus Arab Spring yang meluluhlantakan banyak negara di Timur Tengah dan kawasan Afrika Bagian Utara. Pemicunya bukan hal besar dan gagah, misalnya ada ‘manifesto’ sebuah gerakan perlawanan atas rezim ala pemberontakan di klasik di Amerika Latin yang dipelopori orang terpelajar seperti dokter Che Guevara atau tokoh gerakan sekelas Fidel Castro.

Arab Spring diawai oleh protes orang biasa ketika seorang pemuda pedagang buah di Tunisa, Mohamed Bouazizi, membakar drinya sendiri untuk protes atas kepapaannya sebagai pengangguran. Pemuda berusia 26 tahun ini penghasilan per bulananya tidak lebih dari 150 dolar per bulan atau sekitar 1,3 jura rupiah. Dia resah karena harus  mengidupi delapan orang anggota keluarganya.

Sebagai pemuda, jamaknya dia punya cita-cita mulia ingin membahagiakan diri dan keluarganya. Memang, meski tinggal di kota bukan metropolitan, yaknu kota Sidi di Tunisia,  Bouzid bermaksud mengembangkan usahana supaya jangan berjualan di pinggir jalan. Cita-citanya sepele, dia bermimpi mengganti tempat jualannya dari sekedar gerobak menjadi sebuah kendaraan beroda empat. Mungkin sejenis mobil pick up yang dianggapnya mentereng dan praktis.

Tapi impiannya hancur berantakan ketika tempat jualannya yang dipinggir jalan itu kena garuk petugas tata kota (semacam tramtib). Tak cukup dagangannya disita, Bouazizi mencicipi kerasnya pentungan petugas tramtib. Dia dianggap melanggar tata tertib dan keindahaan kota. Pemuda ini hanya bisa diam bersedih saja meratapi nasibnya.

Saking sedihnya, Bouazizi frustasi. Celakanya, dia mengambil jalan pintas tak sedap untuk mengakhiri hidupnya: bunuh diri. Entah mengapa dia gelap mata dengan nekad menyiramkan bensin pada sekujur badannya dan tragisny sekaligus dia menyalakan korek apinya juga. Tak ayal lagi kobaran api membakar dirinya. Akibatnya, pemuda penjual buah ini mengalami luka bakar akut mencapai hingga 90 persen. Dia tak lama kemudian meninggal. Tanggalnya bertepatan dengan 5 januari 2011.

Tragedi  Bouazizi tersebar melalui media sosial, meski ada ‘tangan gaib’ yang menggerakan (kemudian terindikasi Hilary Clinton ikut bermain di sana), kisah tragis Boauzizi menyulut kemarahan massa. Rakyat Tunisa meradang dan dan gelombang unjuk rasa. Mereka malah menjadikan mendiang pemuda penjual buah ini sebagai pahlawan. Dia dipakai sebagai sarana untuk meletupkan rasa frustasi terhadap keadilan dan tekanan ekonomi. Aksi ini dilakukan hanya sekitar satu bulan. Meski begitu, akibat rusuh dan unjuk rasa, Presiden Tunisia Zine el Abidine Ben Ali tumbang. Kekuasaan tertinggi di Tunisia yang telah dukuasainya selama 23 tahun lepas dari genggaman.

Dan, sebelum lengser Ben Ali pun sudah berusaha meredakan kemarahan rakyatnya. Ini dilakukan misalnya dengan menjenguk Bouazizi ketika masih dirawat di rumah sakit. Tapi tetap tak berhasil. Setelah Bouazizi meninggal pada 14 Januari 2011 dia kabur ke Arab Saudi untuk menyelematkan diri. Bahkan Ben Ali sempat membentuk pemerintahan sementara dengan menunjuk beberapa menteri.

Tapi semua usaha Ben Ali sia-sia. Perubahan rezim di Tunisia tetap terjadi. Laporan PBB menyebutkan sebanyak 219 orang tewas selama kerusuhan dan 510 lainnya luka-luka. Dan ketika pada bulan Oktober pada tahun yang sama Tunisia menyelenggarakan pemilihan umum, kekuatan pendukung Ben Ali rontok. Suara mayoritas diraup oleh partai berlandaskan Islam, Ennahda.

Namun, meski kobaran api Boauzizi sudah perlahan padam, kobaran kemarahan dan frustasi sosial ala Boauziz malah meletup ke mana-mana, bahkan lintas negara. Api yang disulut protes atas nasibnya itu kemudian membakar ke seluruh kawasan negeri-negeri di kawasan Arabia dan Afrika Utara.

Banyak rezim pun goyang. Banyak perang tersulut. Hanya dalam waktu 12 bulan selain penguasa pemerintahan di Tunisa, Mesir, dan Yaman pun terkena getahnya. Melalui media sosial, yakni facebook dan tweeter kobaran kemarahan itu meluas cepat. Suriah juga terkena imbas. Bahkan Arab Saudi yang semula makmur, kemudian  diam-diam ikut bergerak karena kasus itu. Rezim yang memerintah di Arab Saudi kemudian meresponnya dengan membuka diri. Putra mahkota lama diganti dengan menunjuk putra mahkota yang baru dan muda.

Peristiwa tersebut orang mengenalnya dengan datangnya ‘Arab Spring’ di kawasan Timur Tengah, di mana penguasa lama terpaksa menyerahan kekuasannya dengan penguasa baru akibat rusuh sosial dan unjuk rasa. Di Mesir misalnya, pemerintah Husni Mubarak gagal membendung datangnya pembaruan. Media Facebook, Twitter, BlackBerry Messenger dan blog sebagai media penyebaran informasi dan menggalang aksi unjuk rasa.Sudah berlangsung dua dari tiga putaran pemilu yanag direncanakan. Ketika pemilu dilaksanakan dukungan kepada Mubarak melorot tajam karena mendapat suara minoritas sekitar 35 persen saja.

Di Libya malah lebih tragis lagi. Selain merontokan kekuasaan Muamar Khadafi yang sudah lebih dari tiga dasa warsa itu, negara kaya minyak hancur dalam kecamuk perang saudara. Suasana Libya yang sejahtera dan nyaman kini tak bisa hadir di sana. Ancaman konflik senjata bisa meletup setiap saat. Libya pun tercabik-cabik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement