IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa Hukum korban First Travel Riesqi Rahmadiansyah menuturkan Kementerian Agama (Kemenag) perlu memberikan izin baru kepada biro jasa perjalanan umrah tersebut. Tujuannya agar korban bisa diberangkatkan kembali ke Tanah Suci Mekkah.
Riesqi mengatakan, izin First Travel memang telah dicabut oleh Kemenag pada Agustus tahun lalu melalui Keputusan Menteri Agama nomor 589 tahun 2017. Namun pencabutan ini akan memperkecil peluang umrah bagi korban.
Karena itu, menurutnya, cara yang paling mungkin yakni dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang baru, yang mengizinkan First Travel kembali beroperasi. Keputusan Menag tersebut pun sudah tidak bisa dicabut.
Kalau ingin mencabutnya, maka harus melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sedangkan batas waktu pengajuan gugatan PTUN yakni 90 hari sejak Keputusan Menag dikeluarkan. Karena dikeluarkan pada 1 Agustus 2017, Keputusan tersebut sudah tidak bisa lagi digugat ke PTUN.
"Kalau pencabutan SK (Menag) sudah tidak bisa, karena harus PTUN. Kalau SK baru itu bisa. Tujuannya memberikan izin kepada First Travel untuk memberangkatkan jamaah lagi," kata dia di kantor Inspektorat Jenderal Kemenag, Jakarta Selatan, Jumat (8/6).
Agar korban First Travel bisa berangkat umrah, Riesqi juga telah meminta bos First Travel Andika Surachman membuat surat yang berisi tentang pemberangkatan umrah jamaah. "Saya juga sedang lobi, tapi bagaimana First Travel mau memberangkatkan jamaahnya jika izinnya dicabut," tuturnya.
Riesqi juga mempertanyakan apakah pencabutan izin First Travel itu sudah memperhitungkan tujuan dan akibatnya. Kalau memang First Travel dianggap menelantarkan jamaah, sehingga dicabut izinnya, kenapa tidak diberi tenggat waktu terlebih dulu.
"Lucunya, ketika ada perjanjian OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang menyatakan harus memberangkatkan pada November (2017), Kemenag menagih (First Travel) pada September agar menyerahkan manifes. Padahal sebelumnya dicabut, gimana, apakah pernjanjian dengan OJK itu tidak dianggap oleh Kemenag," paparnya.
Riesqi menambahkan, ketika izin First Travel dicabut sehingga banyak jamaah yang telantar, maka dalam kondisi itulah mulai masuknya unsur pidana penipuan. Padahal menurutnya ini berawal dari ketidamengertian pejabat Kemenag soal hukum. "Jadi ada skema yang berawal dari pejabat Kemenag, bukan maladminsitrasi, tapi lebih pada tidak mengerti hukum," ucapnya.
Riesqi juga menilai, jamaah First Travel sebetulnya bukan gagal berangkat melainkan telantar. Sebab, di hari keberangkatan sejumlah jamaah, visa tidak dikeluarkan oleh provider. Provider ini yaitu empat asosiasi travel umrah yang ditunjuk Kemenag dan disetujui oleh Kedubes Arab Saudi.
"First Travel masuk di mana? Ternyata (First Travel) ditolak. Jadi ini yang harus dikejar, apakah sudah menilai aspek ini, itu yang kita cari. Kalau ada aspek kelalaian dari pencabutan izin itu kami minta untuk bertindak," ujar dia.
Riesqi dan Kuasa Hukum bos First Travel Andika Surachman mendatangi kantor Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenang di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan, pada Jumat (8/6). Kuasa hukum First Travel diwakili Roni Setiawan dan Muhamad Akbar.
Riesqi menilai, pemberangkatan korban dengan menggunakan aset First Travel bisa terhambat karena izin yang telah dicabut Kemenag. Pihaknya berharap Itjen Kemenag dapat menelusuri apakah prosedur pencabutan izin First Travel telah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Sekretaris Itjen Kemenag Muhammad Tambrin mengatakan bakal menelusuri ada-tidaknya pelanggaran prosedur dalam pencabutan izin First Travel. Namun penelusuran ini dilakukan setelah Itjen menerima surat aduan dari masyarakat, dalam hal ini korban First Travel.
"Kita lihat keputusan Dirjennya. Siapa yang mengeluarkan, siapa yang mencabutnya. Kan mereka sendiri yang mencabut dan yang mengeluarkan," kata Tambrin.
Tambrin tidak ingin berandai-andai soal potensi adanya pelanggaran dalam pencabutan izin First Travel. Sebab, pihaknya belum melakukan langkah apapun, dan terlebih, belum ada surat aduan masyarakat yang resmi dilayangkan oleh para korban.
Setelah ada surat aduan resmi dari korban First Travel, barulah Irjen Kemenag bergerak dengan terlebih dahulu menggelar rapat pimpinan. Rapat ini akan menentukan apakah aduan tersebut domain inspektur wilayah yang bertugas mengaudit, atau inspektur investigasi.
Bila menjadi domain inspektur investigasi, kemudian dibentuk tim yang terdiri dari beberapa orang. Antara lain, inspektur investigasi, pengendali teknis, anggota auditor. Tim ini akan bekerja paling lama sekitar 8 hari. Keputusan dari tim ini disampaikan ke Irjen.
Tambrin melanjutkan, Irjen kemudian menggelar rapim untuk menghasilkan keputusan atau rekomendasi. "Rekomendasi ini disampaikan ke Menag atau ke pejabat yang bersangkutan," ujarnya.