IHRAM.CO.ID, Laporan wartawan Republika, Fitriyan Zamzami dari Makkah
MAKKAH -- Sanak keluarga saya punya cerita. Kakek dan nenek dari garis ayah yang asli orang Demak, Jawa Tengah berangkat menunaikan ibadah haji pada 1974. Kala itu, mereka berdua mulanya bakal berangkat dengan kapal laut yang difasilitasi biro perjalanan yang terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama.
Kakek saya seorang carik, sejenis sekretaris desa, sementara nenek biasa bertani. Empat ekor sapi sebagai biaya pembayaran sudah mereka lunasi. Keranjang besar dari rotan yang biasa dibawa jamaah haji saat itu sudah selesai dibikin. Berkilo-kilo beras dan lauk-pauk serta bumbu makanan sudah masuk. Persiapan untuk berbulan-bulan perjalanan dengan kapal laut.
Namun, sekitar tiga bulan sebelum keberangkatan datang kabar dari Jakarta bahwa perjalanan menuju Tanah Suci sudah bisa menggunakan pesawat dan difasilitasi pemerintah. Tak pikir panjang, kakek-nenek saya mengabaikan itu harta yang sudah mereka bayarkan untuk biaya perjalanan dengan kapal laut.
Mengais-ngais yang tersisa untuk kemudian membayar perjalanan menggunakan pesawat saja. Mereka berdua, bersama ribuan jamaah tahun itu adalah salah satu yang pertama kalinya memanfaatkan kemampuan manusia mengarungi langit guna menuju Tanah Suci dari Tanah Air.
Menengok pemberitaan-pemberitaan dari tahun itu, pesawat yang mereka gunakan sangat mungkin merupakan DC-8-55 F yang disewa Garuda Indonesia dari perusahaan carter Martin Air di Amsterdam, Belanda. Saat itu, DC-8 yang berkapasitas sekitar 200 penumpang itu disewa guna mengangkut 54.204 jamaah haji dari Indonesia.
Anggapan kala itu, berangkat dengan pesawat lebih lekas dan lebih aman ketimbang berbulan-bulan naik kapal. Begitupun, nyatanya tahun itu juga sebuah pesawat pengangkut jamaah haji Indonesia jatuh di Srilanka dan menewaskan seratusan lebih penumpang. Naas bagi orang lain, mujur buat kakek nenek saya karena mereka tak menaiki pesawat yang berangkat dari Surabaya itu.
Teknologi aviasi kerap kali diasosiasikan dengan penemuan para pionir di AS, Wilbur dan Orville Wright pada 1903. Meski belakangan terkuak juga percobaan terbang dengan alat yang bisa dikendalikan sempat dicoba ilmuwan Andalusia Abbas ibn Firnas pada abad ke-9.
Intinya, beratus-ratus tahun setelah itu, manusia akhirnya memiliki kemampuan yang barangkali jauh dari yang mereka bayangkan. Tak hanya seorang dua orang, burung besi ciptaan manusia bisa mengangkut beratus-ratus orang dalam kecepatan yang tak terbayangkan sebelumnya.
Sejumlah jamaah calon haji antre memasuki pesawat.
Jangankan dengan mula-mula para pionir merancang alat terbang, dengan saat kakek-nenek saya berangkat saja teknologi aviasi sudah berkembang pesat. Perbandingannya begini, dahulu DC-8 dengan 200 penumpang memiliki kecepatan puncak 946 kilometer per jam. Sementara saat ini peswat yang digunakan mengangkut jamaah haji asal Indonesia adalah Boeing 747-400 yang bisa mengangkut 428 orang dengan kecepatan puncak 988 kilometer per jam, Boeing 777-300ER yang bisa mengangkut maksimal 550 orang dengan kecepatan maksimal 930 kilometer per jam, dan Airbus 330-300/200 yang bisa mengangkut maksimal 440 penumpang dengan kecepatan puncak 913 kilometer per jam
Saat bertolak dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Tanah Suci pada Sabtu (14/7) kemarin, saya terkenang Mbah Kakung dan Mbah Putri yang dua-duanya sudah berpulang itu. Saya membayangkan bagaimana perasaan mereka saat burung besi tinggal landas, sementara seumur hidup tinggal di desa yang tergolong jauh dari kemajuan zaman.
Apakah mereka takjub melihat kota yang mereka tinggalkan perlahan mengecil hingga tak lagi nampak? Apakah mereka tersentak dengan tarikan gravitasi saat pesawat dipacu lekas menjelang tinggal landas, membawa mereka melaju dengan kecepatan Ifrit membawa singgasana Bilqis ke istana Sulaiman?
Tahun ini, seperti juga tahun-tahun sebelumnya, mestinya ada jamaah-jamaah seperti mereka. Yang seumur hidup tinggal di periferi peradaban dan seketika harus mengalami terbang naik pesawat, terombang-ambing nyaris sembilan jam di udara, bahkan lebih jika berangkat dari wilayah di Tanah Air yang lebih ke timur.
Kementerian Agama mencatat, nyaris separuh jamaah haji Indonesia tahun ini hanya berpendidikan sekolah dasar. Kebanyakan bukan dari daerah urban, dan usia sebagian besar juga tak muda lagi.
Tak hanya dengan teknologi-teknologi baru, mereka nantinya juga akan bersirobok dengan kebudayaan dan kebiasaan asing, iklim yang aneh buat mereka, dan keajaiban-keajaiban lainnya. Dan saya kira, berhadapan dengan seluruh teknologi dan hal-hal baru tersebut memerlukan keberanian tersendiri.
Keberanian dan kenekatan yang membutuhkan tekad yang tak lembek, apa lagi di umur sebegitu. Untuk itu, saya angkat topi untuk Anda sekalian, wahai jamaah haji Indonesia.