Kamis 19 Jul 2018 12:11 WIB

Rumah di Tepian Makkah

.

Lelaki Saudi mengunjungi Ain Zubaida, situs arkeologi di kota suci Makkah yang selama ratusan tahun dijadikan  sumber air penting di wilayah gurun
Foto: Independent
Lelaki Saudi mengunjungi Ain Zubaida, situs arkeologi di kota suci Makkah yang selama ratusan tahun dijadikan sumber air penting di wilayah gurun

IHRAM.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, Wartawan Republika dari Madinah, Arab Saudi

MAKKAH -- Bukan rahasia, Makkah adalah lembah dan bebukitan yang rusak. Gunung-gunung batu yang ditembus terowongan-terowongan, dipangkas separuh, tak jarang seluruhnya, jadi bangunan. Ka'bah kini tak lagi dikitari bebatuan yang menjulang. Alih-alih, berada di sebuah lembah yang dikelilingi gunung-gunung beton dan baja, dinaungi menara-menara tinggi dari sinar mentari pagi dan sore hari.

Apa mau dikata, buat mengakomodasi jutaan jamaah haji dan umrah yang terus bertambah, wajah Kota Makkah sudah dipermak sedemikian rupa hingga nyaris tak tersisa wujud aslinya. Buat yang ingin menyelami bagaimana lokasi Rasulullah menghabiskan sebagian masa kecilnya, masa remaja, dan menjelang paruh baya; mohon maaf, ia bukan lagi tempat yang paling presisi.

Lain cerita saat kita keluar dari kota itu untuk menuju Madinah, misalnya. Di kanan-kiri jalan utama, pemandangan berubah secara dramatis. Padang-padang pasir dan bebatuan terhampar luas. Bukit-bukit batu yang terjal masih berdiri tegak, nampaknya sejak ribuan tahun silam.

Ia juga hamparan yang miskin vegetasi. Walaupun ada, terlebih pada masa-masa musim panas seperti sekarang, kebanyakan meranggas dan tak jarang tinggal batang dan rantingnya saja.

Manusia-manusia tak nampak, bersembunyi dari 40 hingga 50 derajat Celcius sengatan matahari yang mematikan. Bangunan-bangunan tua roboh, kendaraan-kendaraan rusak dan berkarat dibiarkan di tepi jalan.

Angin bertiup kencang membawa pasir-pasir menyertainya. Masjid-masjid kecil dengan arsitektur sederhana. Azan yang diteriakkan dengan nada yang datar saja tanpa pakai melisma yang khas.

Tenda-tenda berkubah lancip suku badui yang didirikan di padang rumput gersang. Dikelilingi domba-domba putih seperti yang digembalakan Nabi sewaktu kecil, saat tinggal nomaden bersama keluarga Halimah, ibu susunya.

photo
Suasana Makkah tempo dulu. Terlihat unta yang tengah berbaring di samping pelananya setelah berjalan melintasi padang pasir.

Rentangan alam tersebut adalah keindahan tersendiri. Namun, dalam banyak hal, daerah-daerah di pinggiran itu sangat mungkin jauh lebih mirip dengan kondisi Makkah yang dikenal Muhammad Salallahu'alaihiwasallam ketimbang Kota Makkah saat ini. Tempat-tempat di mana perkara bertahan hidup bukan hal yang mudah dan jadi penempa karakter para mukimin.

Dan keluasan serta kesangaran lanskap itu memberikan konteks untuk banyak sekali kisah yang sudah kita akrabi dari kecil. Ia menjelaskan mengapa Nabi Ibrahim AS demikian khawatir meninggalkan Siti Hajar dan Ismail di lembah gersang tersebut.

Ia menjelaskan bagaimana tindakan Bilal ibn Rabbah menjaga imannya sembari menahan siksaan batu panas di dada sambil telentang dengan punggung di padang pasir adalah sebuah perjuangan maha dahsyat.

Ia menunjukkan persekusi blokade kebutuhan pokok terhadap para Muslim dan Muslimah awal adalah sebuah tindakan yang amat kejam dan jadi sejenis pembenaran untuk perang yang tak bisa dihindari mempertahankan komunitas. Ia memberi petunjuk mengapa dua imperium besar pada masa Rasulullah, Bizantium dan Sasaniyah enggan menyentuh Arabia meski punya proksimitas tak sebegitu jauh. Keengganan yang akhirnya memberi ruang bagi gerakan keagamaan bernama Islam tumbuh jadi peradaban akbar serta akhirnya menundukkan dua kerajaan besar tersebut.

Dalam kaitan itu, lanskap di sekitar Makkah juga menjelaskan betapa keimanan adalah kekuatan agung. Karena tanpa keyakinan mutlak Rasulullah dan para sahabat, menengok hamparan padang pasir, bukit-bukit batu, pohon dan semak yang mengering; merasakan sengatan tajam matahari; sukar membayangkan ada peradaban besar yang lestari seribu tahun lebih bisa lahir dari rahim semacam ini. Tanpa sungai untuk mengairi pertanian, jauh dari laut dan pelabuhan yang sibuk.

Bergerak menjauhi Makkah modern dan menghabiskan sedikit waktu di tepiannya, secara ironis adalah juga gerakan mendekati kondisi asli kota tersebut. Buat jamaah haji dari Indonesia, ia bukan saja membuat maklum terhadap kondisi saat Rasulullah hidup. Ia juga mengingatkan betapa rumah kita yang letaknya sekitar 8.000 kilometer ke tenggara dengan segala kehijauan dan sungai-sungai yang mengalir itu adalah anugerah yang tak bisa tidak harus disyukuri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement