Kamis 19 Jul 2018 21:16 WIB

Haji Bagi Narapidana, Bolehkah?

Haji sebagai rukun Islam kelima merupakan kewajiban bagi mereka yang mampu.

Narapidana (ilustrasi).
Foto: freedomessenger.com
Narapidana (ilustrasi).

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Haji sebagai rukun Islam kelima merupakan kewajiban bagi mereka yang mampu.  Secara pengertian syariat, haji berarti berangkat ke Tempat Suci untuk melaksanakan tawaf, sa’i, wukuf di Padang Arafah dan seluruh amalan manasik lain.

Allah SWT berfirman, “Mengerjakan haji merupakan kewajiban hamba terhadap Allah, yaitu bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkarinya maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Ali Imran [3]:97).

Para ulama bersepakat syarat untuk menunaikan haji, yakni berakal, baligh, merdeka, dan mampu atau isthitha’ah. Makna mampu di sini terjadi perbedaan pendapat dalam kriterianya. Ada yang berpendapat dari segi pendanaan, bagi untuk melakukan perjalanan maupun untuk keluarga yang ditinggalkan. Ada pula yang berpendapat mampu dalam hal fisik atau kuat dalam melakukan perjalanan dan menempuh rukun-rukunnya.

Melihat standar kemampuan yang berbeda-beda, setiap orang yang memiliki kriteria di atas secara umum boleh untuk menunaikan ibadah ke Tanah Suci. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang sehat secara jasmani dan memiliki kekayaan melimpah namun fisiknya berada di dalam jeruji alias di penjara? Bolehkah seorang narapidana menunaikan ibadah haji?

Dalam kaitan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa haji untuk narapidana dalam fatwa bernomor 1 Tahun 2001. MUI melihat ayat perintah haji tersebut, kewajiban haji hanya bagi orang yang mampu.

Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal menafsirkan kemampuan atau isthitha’ah dalam haji lebih dititikberatkan pada kemampuan biaya atau mal. Dari pendapat keduanya, orang sakit yang tidak dapat menunaikan haji sendiri namun ia memiliki biaya, ia sudah dipandang masuk dalam kriteria isthitha’ah. Caranya, dengan membiayai orang lain untuk menghajikannya.

Imam Syafi’i beragumentasi dengan hadis yang dikeluarkan Daraqutni dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Ketika ayat tentang haji turun, seorang laki-laki berdiri dan bertanya ke Rasul SAW, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan sabil di ayat itu?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Biaya dan kendaraan’.”

Menurut Imam Syafi’I, hadis tersebut hanya mensyaratkan biaya dan kendaraan tanpa menyebutkan tentang kesehatan.

Selain itu, Imam Malik mengatakan bahwa syarat satu-satunya dalam tafsir isthitha’ah hanya pada kesehatan saja. Menurutnya, orang yang secara fisik tidak dapat melaksanakan ibadah haji sendiri maka gugur kewajibannya. Meskipun ia memiliki harta untuk menyuruh orang lain menghajikannya. Imam Malik berpendapat bahwa orang sakit masuk kategori tidak mampu karena haji harus dikerjakan oleh orang mukallaf sendiri. Imam Malik juga berpendapat bahwa ibadah haji tidak bisa diwakilkan.

Imam Abu Hanifah berpendapat hadis di atas hanya menjelaskan sebagian syarat wajib haji. Rasulullah SAW memang tidak menjelaskan syarat kesehatan. Namun, sehat sudah termaktub dalam jalan menuju Baitullah. Bagaimana mungkin, Imam Abu Hanifah menjelaskan, seseorang mengendarai kendaraan menuju Baitullah tanpa kondisi fisik yang prima. Jadi, Imam Abu Hanifah mensyaratkan isthitha’ah yang bermakna mampu dalam hal biaya dan sekaligus fisik.

Terkait diperbolehkannya mewakilkan haji, Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada hadis Abu Razin. Yakni, ia diperintahkan Rasulullah SAW untuk menghajikan ayahnya dan berumrah. Juga, Ibnu Abbas yang meriwayatkan seorang perempuan berkata, “Ya Rasulullah, kewajiban Allah berupa haji telah berlaku untuk ayahku, namun ia adalah seorang tua renta yang tak mampu lagi duduk di atas kendaraan. Bolehkah aku menghajikannya?” Rasulullah menjawab, “Ya,” (muttafaq ‘alaih).

Komisi Fatwa MUI yang saat itu dipimpin KH Ma’ruf Amin menegaskan bahwa kemampuan berhaji mencakup kemampuan biaya dan kesehatan fisik. Jika kondisi badannya tidak memungkinkan untuk melaksanakan haji tersendiri, ia boleh melaksanakan haji dengan mewakilkannya.

Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut, seorang narapidana berarti tidak mampu secara fisik untuk berangkat sendiri ke Tanah Haram karena sebuah kondisi. Namun, jika ia memiliki biaya maka kewajibannya tidak gugur dan bisa melaksanakan haji dengan mewakilkan kepada orang lain.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement