Senin 23 Jul 2018 17:02 WIB

Manula Ini Berhaji dari Hasil Buruh Tandur Padi

Meski hidup dengan kondisi ekonomi terbatas, pasangan ini berprinsip agama itu utama.

Mutiatun dan Asrofi bergandengan tangan di Asrama Haji Sukolilo Surabaya.
Foto: kemenag.go.id
Mutiatun dan Asrofi bergandengan tangan di Asrama Haji Sukolilo Surabaya.

IHRAM.CO.ID, Selasa (17/7) sore pekan lalu, suasana Asrama Haji Sukolilo Surabaya tampak ramai. Waktu itu, ada tiga kelompok terbang (kloter) asal embarkasi surabaya yang masih tinggal, yakni kloter tiga, empat, dan lima.  Kloter satu, sudah lebih dulu dilepas keberangkatannya oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Selang beberapa jam, kloter kedua juga diberangkatkan menuju Bandara Internasional Juanda untuk diterbangkan ke Tanah Suci.

Hampir di tiap sudut asrama berkapasitas 3.000 orang ini, dapat ditemui calon jamaah haji yang tengah menanti waktu keberangkatan mereka. Binar bahagia dan kerinduan memenuhi panggilan Ilahi pun tampak terpancar dari wajah mereka.

Tak terkecuali yang dirasakan oleh Asrofi (70 tahun) dan sang istri Mutiatun (65), jamaah haji Kloter lima Embarkasi Surabaya (SUB 05). Ditemui di teras salah satu gedung penginapan Asrama Haji Sukolilo, pasangan suami istri ini berkisah tentang rasa bahagiaannya. Mendapat kesempatan berangkat haji, ibarat panen raya bagi pasangan buruh tani asal Banyuwangi ini.  

“Alhamdulillah... wong ndak pernah mengira bisa berangkat haji. Kami hanya berusaha,” tutur Mutiatun sambil menyeka air mata dengan tangan rentanya. Sesaat kemudian, ia tampak menerawang, mengingat kembali perjuangan panjangnya bersama suami untuk dapat mendaftar haji.

Biaya haji yang berada pada kisaran puluhan juta, dirasa amat berat bagi mereka yang hanya bekerja sebagai buruh tani dan memelihara kambing. Apalagi, Asrofi hanya buruh tanam padi bagi para pemilik sawah di desanya. Sementara Mutiatun, lebih banyak tinggal di rumah untuk merawat anak-anak mereka. Sesekali saja ia membantu suami menjadi buruh tandur.

“Ya memang sejak awal nikah pekerjaannya ya buruh tani. Nah sekarang Bapake agak bungkuk, karena ya nunduk terus nandur di sawah,” kata Mbah Mutiatun sambil menatap lelaki tua yang telah menikahinya sejak 1974 tersebut dengan mata berkaca-kaca.  

Senyum tipis pun tampak tersungging di wajah lelaki tua itu. Seperti sang istri, matanya pun berkaca-kaca saat menuturkan awal mula ia berniat pergi haji. “Penghasilan buruh tani kan tidak tentu. Tapi saat tahun 1993, saya mulai niat untuk bisa pergi haji,” ujarnya lirih.

Menurut Asrofi, pergi haji ke Tanah Suci adalah kewajiban tiap muslim. Maka, untuk mencapainya tetap harus diusahakan. “Waktu itu ya berat. Apalagi kami harus menghidupi empat orang anak. Masih ada yang sekolah, masih ada yang di pondok pesantren Mambaul Ulum, Mbarasan, Banyuwangi,” ujar Mutiatun menambahkan. 

Meski hidup dengan kondisi ekonomi terbatas, pasangan Asrofi dan Mutiatun berprinsip bahwa agama itu utama. Sehingga, meski kondisi serba terbatas, keduanya pun tetap berikhtiar memenuhi rukun Islam yang kelima. Mereka sisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung.

Sejak 1993, mereka mulai menabung, bukan di bank, atau lembaga penyimpanan resmi, melainkan di bumbung bambu yang mereka buat sendiri. “Ya nabungnya di rumah, ditaruh di bumbung bambu, dilubangi, kemudian uangnya ditaruh di situ,” cerita Asrofi.

Penghasilan yang mereka dapat tak pernah besar. Menjadi buruh tandur pada masa itu, ia dan suami hanya dibayar Rp 30 ribu per hari. Perlahan dari upah buruh tandur tersebut, mereka berdua berhasil memperoleh sebidang tanah seluas seperempat bau (sekitar 1.750 m2) yang sesekali ditanam kedelai atau padi. 

Kalau sedang beruntung, mereka bisa memanen, yang artinya ada tambahan penghasilan bagi keluarga ini. Untuk sekali musim panen, mereka mendapat penghasilan sekitar empat juta rupiah. “Itu tiga bulan sekali, dan masih kotor,” kata Asrofi.

Lagi-lagi, penghasilan tersebut seringkali tak mencukupi kebutuhan keluarga dengan empat orang anak. Tapi toh hal ini tak menyurutkan niat keduanya. Impian mereka adalah, mampu pergi ke Tanah Suci. Maka bumbung-bumbung bambu itu  perlahan mereka isi. Meski mereka tak pernah tahu kapan akan mencukupi untuk mendaftar haji. “Uangnya juga sudah ndak bagus lagi,” ujar Mutiatun.

Atas izin Allah, kerja keras mereka berbuah manis. Setelah kurang lebih 17 tahun menabung, pasangan ini mendaftar haji pada 2010. “Uangnya ya gak cukup dari yang ditabung, itu dibantu oleh anak pertama saya yang saat itu sudah bekerja di Riau,” kata Asrofi.

Dengan berurai air mata, Mutiatun mengaku bahagia karena Allah mengabulkan impian mereka berdua lewat anak sholeh yang dititipkan pada keduanya. “Alhamdulillah... anak saya yang kedua pun sekarang masih di pondok. Membantu romo kyai mengajar juga...” tutur Mutiatun.

Sementara dua anak lainnya pun menurut penuturan pasangan ini memilih untuk bekerja selepas menyelesaikan pendidikan di pondok pesantren. Betul-betul panen raya yang dirasakan oleh kedua orang tua ini. Allah memampukan mereka berangkat ke Tanah Suci berkat ikhtiar yang telah mereka lakukan. Keberangkatan keduanya ke Tanah Suci pun diiringi doa dari anak-anak sholeh yang mereka bekali ilmu agama.

Selamat berhaji Mbah Asrofi dan Mbah Mutiatun. Semoga kembali menjadi haji mabrur. Amiin.

 

sumber : kemenag.go.id
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement