Pada hari-hari ini sebagian jamaah haji sudah berada di Makkah. Mereka pasti menikmati suasana kota yang lenggang yang nantinya berubah sangat hiruk-pikuk jelang dan pada hari puncak haji.
Makkah pada hari biasa kala tiada jamaah umrah dan haji, suasananya cukup sepi. Suasananya mengingatkan pada kota kecil semacam Wonosobo, Tasikmalaya, atau Purworejo. Kala itu setiap orang bisa sangat nyaman tawaf di Ka'bah, shalat di Hijir Ismail dan Multazam dengan leluasa. Antrean untuk mencium hajar aswad pendek saja, hanya sebaris pendek sekitar 10 orang.
Kota Makkah yang sejatinya berada sebagai wilaya pedalaman Saudi Arabia (orang menyebut juga sebagai 'Bakkah' karena terpencil). Letaknya tak berada dijalur perdagangan layaknya Madinah. Namun magnet kota ini sungguh luar biasa. Terlebih bagi Muslim Indonesia yang sejak dahulu kala mengidamkan bisa berhaji di kota suci itu. Orang dari Prancis, Rusia, dan wilayah yang puluhan ribu kilometer jauhnya hingga kini masih banyak orang yang rela pergi ke kota ini lewat jalan darat. Dari Rusia atau Prancis misalnya, butuh waktu lebih dari dua pekan untuk sampai ke Makkah dengan naik mobil.
Dan memang untuk membayangkan kota Makkah pada masa kini, terutama dalam peta nasionalisme Indonesia moderen, banyak yang tak paham. Padahal di kota ini semenjak dahulu menjadi penyemai dan pompa perlawanan terhadap kolonial. Banyak pahlawan yang ingin tinggal dan mati di kota ini. Salah satunya adalah Pangeran Diponegoro yang ketika hidup dalam pengasingan di Manado usai memimpin Perang Jawa. Dia memimpikan bisa menginjakan kaki ke kota ini. Atau juga Syekh Pante Kulu yang menulis perlawanan rakyat Aceh,' Hikayat Prang Sabi,' syairnya ditulis setelah pulang dan bertemu dengan berbagai orang yang mukimin dan para orang yang tengah berhaji di Makkah.
Suasana ini memang tak terlihat karena terselip pada kemegahan perluasan proyek Masjidil Haramdan kota Makkah. Jamaah haji masa sekarang pasti tak tahu di mana letak madrasah Shaulatiyah yang legendaris karena melahirkan dua orang besar KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan. Sisa bangunan asli sekolah yang didirikan oleh orang kaya asal India (pakistan) pun tak ada bekasnya. Yang tersisa, hanya berupa lahan parkir di dekat Hotel Hilton dan Darut Tauhid. Sekolah itu kini pindah di pinggir kota Makkah.
Nah terkait soal nasionalisme haji, tiba-tiba masuk surat lewat wattapps dari seorang rekan jurnalis senior 'Teguh Setiawan' yang berisi tulisan orang Turki terkait haji dan pembentukan nasionalisme Indonesia. Atikel ini sangat menarik mengingat begitu luas Islamophobia di Indonesia masa kini. Entah mengapa, tiba-tiba saja Saudi Arabia sebagai penguasa kota Makkah, juga terkena imbasnya. Jargon yang lagi terkenal: Islam itu bukan Arab! Padahal lucu Islam dari Arab dan pula lima agama di Indonesia berasal dari negeri asing. Grand Syekh Al Azhar pernah menyindirnya sebagai sikap yang berlebihan.
Tulisan yang dia kirim itu karya Ismail Haki Goksoy, sarjana politik Islam Universitas Suleyman Damirel, Istanbul, Turki. Di dalamnya memang bukan hal baru sekali, tapi banyak fakta yang mengejutkan bahwa para haji dan mukimin di Makkah sudah menunjukan nasionalisme Indonesia di hari-hari awal kemerdekaan. Tulisan ini berusaha mengurasi suasana perjalanan haji di tahun 1946, 1947, 1948, dan 1949, atau pada tahun-tahun perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Selain itu, tulisan itu juga melepas bayang-bayang tulisan orientalis yang lekat terkena Islamophobia karya sarja kolonial Belanda seperti C Snouck Hurgronje, J Eisenberger, D van der Meulen, dan J Vredenbregt. Khususnya pada era haji di periode Revolusi Kemerdekaan, yang oleh Vradenberg hanya ditulis sekilas dalam The Hadj: Same of Features and Functions in Indonesia.
Seorang pelajar mukimin tengah belajar di Makkah tempo dulu. (gahetna.Nl).
****
Perlawanan Mukimin
Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Netherlands-Indische Civil Administration (NICA) pimpinan HJ van Mook, bersama tentara sekutu pimpinan Inggris, kembali ke Indonesia, pada September 1945. Mereka menggunakan kekuatan militer, Belanda berusaha menegakkan kembali pemerintahan di tanah jajahannya.
Tahun 1946, sebagai upaya membujuk masyarakat Indonesia, Van Mook menjalankan kebijakan pemberangkatan jamaah haji. Ia menunjuk Departemen Dalam Negeri, atau Binnenlandse Bestuur, sebagai pelaksana. Binnenlandse Bestuur bekerja sama dengan perusahaan pelayaran Rotterdamse Lloyd, Stomvaart Maatshappij Nederland, dan Stoomvaart Maatschappij Oceaan, popular dengan sebutan Kongsi Tiga, membawa jamaah haji dari Indonesia ke Arab Saudi.
Pemerintah NICA yang berkuasa di Hindia-Belanda, menetapkan ongkos naik haji tahun 1946 antara 1.800 gulden sampai 2.100 gulden, atau 170 sampai 200 pound, tergantung lama tinggal di Mekkah. Di sini jelas bila pada masa awal kemerdekaan, perjalanan haji di era Revolusi Kemerdekaan sangat tidak mudah.
Meski begitu susah, gema proklamasi kemerdekaan disambut gembira oleh 3.000 pemukim Indonesia di Arab Saudi, atau mukimin. Pada 27 September 1945, sekitar 300 pemukim Indonesia di Makkah menggelar pertemuan, dan menyatakan mendukung Republik Indonesia.
Mukimin, atau pemukim Indonesia di Arab Saudi, adalah pelajar yang tak kembali sejak 1942, atau setelah Jepang menduduki Hindia-Belanda. Mereka, rata-rata belum berusia 40 tahun serta mendapat bantuan keuangan pemerintah Belanda setiap bulan.
Beberapa bulan setelah proklamasi, mukimin membentuk komite aksi, yang bertransformasi menjadi organisasi Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia. Seluruh mukimin di Arab Saudi bergabung, dan mengabarkan kemerdekaan Indonesia ke jamaah haji dari berbagai negara yang datang ke Makkah.
Pada musim haji November 1945, mereka menyebarkan pamflet berbahasa Arab ke seluruh Makkah. Pamflet dibuat di Mesir, dan dibawa pemimpin Pergerakan Kemerdekaan Indonesia di Kairo, ibu kota Mesir.
Pamflet berisi desakan agar negara-negara Arab mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Saat yang sama, Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia meminta ijin Amir Mansur, penguasa Hijaz, untuk berbicara kepada para peziarah dari berbagai negara. Permintaan itu ditolak. Arab Saudi melarang segala kegiatan politik saat penyelenggaraan haji.
Namun, pemimpin Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia menggunakan cara lain, yaitu menggelar pertemuan kecil di Mina. Pertemuan dihadiri banyak orang dari berbagai negara. Tiga pemimpin berpidato, menjelaskan kemerdekaan Indonesia. Polisi Indonesia menangkap mereka, tapi membebaskannya beberapa jam kemudian.
Jamaah haji berangkat ke Mina pada tahun 1920-an.
Kala itu, pemerintah Arab Saudi berusaha bersikap netral, tapi membiarkan pemukim Indonesia menjalankan aktivitasnya di Makkah. Yunus Yasin, wakil Menlu Arab Saudi saat itu, berharap konflik Belanda-Indonesia diselesaikan secara damai.
Kementerian Luar Negeri Belanda merespons situasi ini dengan mengirim surat ke Konsul di Jeddah dan Kairo, yang isinya agar bantuan keuangan kepada mukimin hanya diberikan kepada mereka yang loyal ke pemerintah Hindia-Belanda.
Konsul Belanda di Jeddah, Van Rechteren Limpung menjalankan instruksi dengan menawarkan bantuan keuangan kepada komunitas Indonesia di Kairo. Orang Indonesia, kebanyakan pelajar Universitas Al Azhar, menolak. Komunitas keturunan Indonesia-Arab, pada 27 Februari 1946, mengeluarkan penyataan: "Kami lebih baik lapar daripada mengkhianati perjuangan Indonesia!"
Konsul Belanda di Jeddah, H H Dingemans keberatan menjalankan instruksi Kemenlu Belanda. Menurutnya, jika itu dijalankan hanya akan menimbulkan kegaduhan di kalangan mukimin. Ia mengidentifikasi masih banyak orang Indonesia di Arab Saudi setia kepada Hindia-Belanda. Dan bila meminta mereka menandatangani surat kesetiaan itu hanya akan menimbulkan masalah.
Mukimin pasti akan mencegah setiap orang Indonesia meneken kesetiaan kepada Hindia-Belanda. Maka jika kerusuhan terjadi, pemerintah Arab Saudi akan bertindak dan melemahkan posisi Belanda di Jeddah.
Pemerintah Belanda menerima argumen itu. Pada 9 Maret 1946, Belanda mengeluarkan pernyataan hanya akan memberi bantuan keuangan kepada orang Indonesia yang terdaftar di konsulat Jeddah dan Kairo.
Pada bulan berikutnya, pemerintah Belanda mencoba memulangkan paksa ratusan mukimin dengan alasan lebih mudah dikontrol jika mereka berada di Hindia-Belanda. Khusus untuk mukimin di Makkah, pemerintah Hindia-Belanda mengumumkan pulang kampung gratis, tapi hanya sebagian kecil yang tertarik. Lainnya, sebagian besar, menyebut ajakan pulang kampung itu sebagai repatriasi NICA. Mereka yang terbujuk diberi label 'NICA-mukimin'.
Sampai November 1946, hanya sembilan mukimin yang pulang kampung. Mereka berasal dari Banjarmasin dan Pontianak. Lainnya, lebih suka menjauh dari yurisdiksi Hindia-Belanda, dengan 70 persen mengembalikan passport Hindia-Belanda ke konsul Belanda di Jeddah, menolak bantuan keuangan, dan membentuk Komite Pertolongan Indonesia (Kopindo) untuk mengatasi persoalan finansial para pemukim. Mereka mengorganisir pengumpulan dana, untuk mengatasi kesulitan mereka.