Rabu 25 Jul 2018 05:01 WIB

Pamflet Hasyim Asy'ari Hingga Nasionalisme Mukimin Makkah

Para haji dan mukimin di Makkah berperan besar dalam pengakuan kemerdekan Indonesia.a

Jamaah haji asal Aceh 1880-an.
Foto:
Situasi di Makkah abad ke-19 lewat foto Snouck Hurgronje

HM Rasjidi, perwakilan RI di Kairo, melakukan perlawanan diplomatik sangat keras. Ia datang ke Makkah pada 13 Oktober 1947 dan menemui Raja Abdul Aziz Ibnu Saud, untuk meminta Riyadh menegaskan sikap mengakui Republik Indonesia.

photo
Jamaah haji tahun 1951 di atas Kapal Rotterdam lloyd menuju Makkah.

Raja Abdul Aziz menyambut kedatangan HM Rasjidi. Di Makkah dan Jeddah, Mukimin menggelar demo besar-besaran. Menurut mukimin, misi Belanda ke Arab Saudi adalah propaganda penjajah. Situasi menjadi rumit ketika kabinet NIT yang dipimpin Nadjamudin ambruk pada akhir September 1947. Bachmid tidak dimasukan ke dalam kabinet berikut, yang dibentuk SJ Warouw pada 7 Oktober 1947. Warouw lebih suka mengganti Bachmid dengan anggota lain.

Dingemans menyarankan Bachmid tetap mengetuai misi diplomatik ke negara-negara Arab, sampai dia kembali pada 16 Nopember 1947. Di sisi lain, misi diplomatik Sultan Pontianak -- saat itu ketua wilayah khusus Kalimantan Barat -- ke Suriah, Mesir, dan Lebanon, gagal total. Permohonan visanya ditolak, karena sedang terjadi wabah kolera di tiga negara itu.

Sultan Pontianak pulang lewat Karachi dan New Delhi. Ia berusaha bertemu Muhammad Ali Jinnah dan Mahatma Gandhi, pemimpin Pakistan dan India, dan gagal pula.Setelah tiga misi NIT kembali ke tanah air, Kerajaan Arab Saudi pada 22 November 1947 secara resmi mengakui Republik Indonesia sebagai negara berdaulat.

Dingemans menyambut pengumuman pemerintah Arab Saudi dengan mengatakan; "Ini tindakan tidak bersahabat." Ia juga menyebut misi NIT gagal total.

                                       *****

Selama kunjungan ke Arab Saudi, tiga misi NIT berhadapan dengan mukimin yang mengorganisir diri ke dalam Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia. Para mukimin membagikan pamflet Naik Haji Haram dari fatwa KH Hasyim Asyari, karena penyelenggara perjalanan haji adalah pemerintah kafir. Mukimin juga secara masif menentang pembentukan sistem federal di Indonesia.

Ketika NICA membentuk Republik Sumatera Timur, mukimin dari Sumatera membentuk Front Republik Sumatera Timur dan berdiri di belakang Republik Indonesia 100 Persen.

Pada Juni 1948, mukimin dari Sumatera Selatan membentuk front serupa, sebagai tanggapan atas rencana Belanda membentuk negara terpisah. Front ini dipimpin RM Amir Usman, pemimpin mukimin asal Sumatera Selatan di Makkah.

Menurut Amir Usman, status definitif Sumatera Selatan harus diputuskan melalui plebisit seperti tertera dalam Kesepakatan Renville. Sejumlah ulama Indonesia di Makkah, seperti H Abdul Kadir dan H Abdul Muttalib dari Mandailing, pun ikut mengeluarkan fatwa. Konon, fatwa ditulis dalam brosur dan dikirim ke Indonesia, tapi agen-agen NICA menyita brosur itu saat dalam perjalanan.

Musim haji 1947 berlalu, dan semua pihak tahu aspek politik haji. Memasuki 1948, Radio Yogyakarta mengumumkan pemerintah Republik Indonesia mempertimbangkan mengirim misi haji ke Arab Saudi.

Pengumuman ini memunculkan spekulasi banyak pejabat NICA. Sebagian beranggapan pengumuman ini merupakan indikasi Indonesia juga ingin meningkatkan pengiriman jamaah haji dari wilayahnya.

P Bollen, pejabat Kementerian Dalam Negeri NICA, mengatakan partisipasi Indonesia dalam haji tidak akan mungkin karena Ordonansi 1922 -- tentang penyelenggaraan perjalanan haji -- masih berlaku. Ordonansi juga mengatur tentang transportasi dari dan ke Jeddah, yang sepenuhnya ditangani Departemen Pelayaran Hindia-Belanda.

Saat itu, Bollen yakin Republik Indonesia akan menggunakan maskapai asing untuk membawa dan memulangkan jamaah haji. Menurutnya, semua ini harus dicegah karena akan membahayakan kepentingan perusahaan pelayaran Belanda. Dan pada Agustus 1948 tidak ada indikasi Republik Indonesia akan menyelenggarakan perjalanan haji. Spekulasi pun berhenti.

photo
Syarif Makkah tahun 1880-an. (gahetna.ni).

Namun, Republik Indonesia tetap akan mengirim misi ke Arab Saudi, seperti diusulkan Menteri Agama KH Masjkur pada 11 Juni 1948. Tujuan misi adalah menjalin kontak dengan mukimin dan perwakilan negara-negara Muslim di Arab Saudi.

Misi itu, menurut KH Masjkur, berjumlah sembilan orang. Dua dari sembilan anggota misi berasal dari Sulawesi dan Kalimantan. Setiap anggota misi bertugas menjelaskan posisi Republik Indonesia dan niat Belanda memecah belah bekas tanah jajahannya.

Usulan diterima kabinet, tapi kesulitan ekonomi menyebabkan misi hanya beranggotakan empat orang. Tahun 1948, pemerintah Belanda menetapkan kuota haji sebanyak 8.767 orang, yang diberangkatkan sekitar 8.818 orang.

Sebagian besar jamaah haji berasal dari Indonesia Timur dan Kalimantan. Lainnya dari wilayah Jawa dan Sumatera yang dikuasai Belanda, terutama Jawa Barat. Ada juga pemimpin adat; penguasa otonom, kepala adat, bupati, dan lainnya, yang ikut dalam rombongan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement