IHRAM.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami dari Madinah, Arab Saudi
MADINAH -- Semua sepakat, kompleks Masjid Sab’ah di kaki Bukit Sala' dibangun di salah satu lokasi penting terkait Perang Khandaq, saat Madinah dikepung 10 ribu pasukan gabungan dari Makkah, sejumlah suku-suku Badui, dan dua suku Yahudi nyaris sebulan penuh.
Ketika saya mengunjungi lokasi itu Jumat pekan lalu, di pelataran antara dua tangga menaiki masjid putih cemerlang itu, ada puluhan jamaah dari Turki. Mereka mengelilingi seorang pembimbing yang tak muda lagi yang sedang bercerita dengan penuh gairah.
Sang pembimbing menunjuk-nunjuk dengan antusias tiga bangunan tua yang agak tak terurus di sekitar masjid. Ada Posko Fatah agak tinggi di bukit sayap timur masjid. Lokasi itu mereka yakini jadi lokasi Rasulullah berdoa berhari-hari sehingga Allah mengirimkan ketakutan dan angin kencang yang mengusir pasukan pengepung.
Jamaah sedang berkumpul di pelataran Masjid Khandaq di kompleks Masjid Sab'ah, Madinah, Jumat (27/7).
Sang pembimbing Turki juga menunjuk lokasi tak jauh dari tangga menuju masjid utama yang dipercayai berdiri di lokasi pos Salman Alfarisi saat mengawasi penggalian parit raksasa selebar lima meter dan sedalam tiga meter, merentang tiga kilometer memagari bagian timur dan utara Bukit Sala' hingga Jabal Uhud. Strategi perang tersebut adalah gagasannya mengoreksi pandangan Rasulullah SAW bahwa pasukan Madinah yang hanya 3.000 orang harus berhadapan langsung dengan penyerang.
Nun di bagian barat, ada bangunan kecil lain yang dipercayai merupakan pos Abu Bakar Siddiq. Sedangkan masjid yang berdiri megah di antara pos-pos itu, baru dibangun Kerajaan Saudi beberapa tahun silam, sebelumnya adalah lokasi empat pos lainnya. Sang pembimbing Turki dengan semangat menceritakan sejarah masing-masing pos tersebut.
Sebaliknya, Abdul Mukmin, seorang sukarelawan dari Nigeria yang ditugasi Kerajaan Saudi memberikan penjelasan berbahasa Inggris pada pengunjung dengan semangat dan artikulatif pula menceritakan sejarah tandingannya. “Pos-pos ini hanya bangunan dari masa saat Madinah dikuasai Turki Utsmani. Mana mungkin ada masjid sebegini dekat dengan Masjid Nabawi di zaman Rasulullah!?” kata dia menggebu-gebu.
Kondisi Pos Fatah dan Pos Salman Alfarisi yang tak terurus di kompleks Masjid Sab'ah, Madinah, Arab Saudi, Jumat (27/7).
Menurut dia, tak ada landasan historis terkait pos-pos Rasulullah dan para sahabat di kaki Bukit Sala'. Rasulullah dan para sahabat serta ribuan warga Madinah, kata Abdul Mukmin, terlampau sibuk menggali parit selama lima hari.
Ada juga dua versi soal asal-usul lokasi berdirinya Masjid Ali bin Abi Talib tak jauh di bagian barat Masjid Nabawi. Seorang penjaga di sana mengatakan, yang diyakini Kerajaan Arab Saudi, masjid yang cat putihnya terkelupas dan dikelilingi tembok dan pagar besi itu adalah lokasi Ali Radiallahuanhu melaksanakan shalat saat sedang terjadi perebutan kekuasaan di Madinah. Ali memilih menarik diri sedikit dan tak melaksanakan shalat di Masjid Nabawi untuk menjaga keutuhan umat dan agar skisma tak makin tajam.
Sementara bagi jamaah asal Iran, Ali melakukan shalat di lokasi itu karena terusir dari Masjid Nabawi saat kekhalifahannya mulai digoyang. Dalam narasi Syiah yang mereka percayai, Ali adalah yang terdzalimi.
Di antara versi-versi tersebut, baik di Masjid Sab’ah maupun di Masjid Ali, mana yang benar? Sang penjaga di Masjid Ali berkata singkat, “wallahualam”. Toh di Masjid Nabawi, apalagi nanti di Arafah dan Makkah, versi masing-masing itu mestinya tak jadi hal yang penting-penting amat.
Saat saya shalat Jumat di Masjid Nabawi itu hari, jamaah Saudi dan jazirah Arab lainnya yang punya akar Mahzab Hanbali, jamaah Asia Selatan dan Turki yang mayoritas mempraktikan mahzab Hanafi, jamaah Indonesia dan Malaysia yang kebanyakan Syafii, orang-orang berkulit hitam dari Afrika bermahzab Maliki, bahkan dari Iran yang menganut Syiah; tak risih shalat berjamaah saling bersisian kaki tempel kaki, bahu tempel bahu.
Jamaah mengintip ke dalam Masjid Ali bin Abi Thalib yang ditutupi tembok dan pagar besi tak jauh dari Masjid Nabawi, Madinah, Jumat (27/7).
Ia membuat pesan yang disampaikan khatib shalat Jumat di Masjid Nabawi hari itu bukan sekadar kata-kata kosong. Bahwa semua Muslim seharusnya adalah ikhwan dan akhwat satu sama lain. Bahwa ukhuwah adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi, tentunya lebih baik lagi bila tak hanya di Tanah Suci.
Saat shalat, pada rakaat pertama, imam membaca surah setelah Al Fatihah yang sama sekali tak saya duga, Al Asr. Saya belum pernah mendengar imam di Tanah Air membaca surat sependek itu pada shalat Jumat. Tapi pesannya memang pas betul. Bahwa kaum beriman semestinya saling menasehati dalam kebenaran,saling menasehati untuk menjaga kesabaran.
Selepas shalat, jamaah Indonesia dan India nampak bersalaman dan menangkupkan tangan kanan ke dada seturut tradisi yang mereka praktikkan bersama, sementara jamaah Saudi di sebelah yang tak bersalaman seturut pemahaman mereka tak ambil pusing melihat kebiasaan itu. Alih-alih jadi penyebab ricuh, keberagaman di Masjid Nabawi itu menunjukkan salah satu sisi paling indah dari agama Islam.