IHRAM.CO.ID, Oleh: Erdy Nasrul dari Makkah, Arab Saudi
MAKKAH -- Meski berasal dari Cirebon Jawa Barat, Pak Anwar – begitu saya biasa memanggilnya- lebih betah tinggal di Tanah Suci. Baginya Makkah adalah kota tempat mengabdi sejak beberapa tahun silam.
Selain bekerja, di sini dia bisa melampiaskan kerinduan batinnya dengan mengitari Ka’bah, bermunajat di Multazam yang terletak antara Hajar Aswad dan pintu bangunan kubus berkain hitam tersebut. “Di sini kita bisa lebih berdekatan ke Baitullah. Lebih tenang,” kata pria berjenggot pirang itu.
Kata kuncinya adalah ketenangan. Ini yang dicari jamaah haji dari berbagai belahan dunia.
Meski sudah punya harta berlimpah, pasangan hidup yang menggembirakan, kekuasaan tinggi, banyak teman, tapi apalah artinya itu semua? Toh pada akhirnya, diri ini akan mati, menyendiri dalam liang lahat, dan tak lagi merasakan kenikmatan duniawi tadi.
Akhirnya orang naik ke tangga rohani. Mereka menguatkan syahadat, selalu mengulang dan meresapi maknanya ketika duduk tahiyat.
Shalat (ilustrasi)
Tak hanya itu, mereka juga menahan diri dari lapar, haus, dan mengekang hawa nafsu, dengan berpuasa. Ini adalah salah satu momen keintiman seorang hamba dengan Sang Pencipta. Hanya diri sendiri dan Allah yang mengetahui sedang berpuasa.
Harta juga disedekahkan kepada para kaum lemah. Kemudian Allah memberikan berbagai kemudahan.
Tapi masih ada yang kurang. Ada saja keresahan yang membuat hati gelisah. Seperti ada panggilan hati yang belum terpenuhi.
Kalau ini yang terjadi, maka cobalah berziarah ke Baitullah, Ka’bah, Baitul Atiq, begitu orang menyebut bangunan tersebut. Lokasinya jauh, membutuhkan waktu penerbangan sembilan jam dengan kecepatan 900 kilometer per jam.
Ditambah lagi dengan suhu panas yang mencapai 43 hingga 50 derajat celsius di siang hari. Tapi percayalah, itu semua tak menghalangi para pemburu ketenangan masuk ke masjid suci, tempat yang dibangun Nabi Ibrahim dan dijaga penguasa dari masa ke masa.
Ka'bah atau Baitullah di Masjid al-Haram, Makkah, Arab Saudi.
Sepanjang perjalanan menuju Tanah Suci, hati akan menghayati perjuangan para nabi mendakwahkan tauhid dengan beragam rintangan yang dihadapi. Lisan mengucap labbaik Allahumma labbaik.
Jiwa dan kesadaran seperti merasa rindu mendalam saat kaki melangkah turun dari bus. Dan tanpa disadari, air mata tak terbendung.
Tubuh merasa segar ketika meminum zamzam, air yang pertama kali diminum Nabi Ismail dan Hajar sang ibu. Air ini tak sekadar mengenyahkan dahaga, tapi juga menyegarkan pikiran. Rasanya berbeda. Tubuh ini merasa begitu senang ketika meneguknya.
Di hadapan Ka’bah saya mengangkat kedua tangan, menundukkan kepala, menyebut nama saudara dan kerabat, agar mereka kelak dapat mengunjungi rumah Allah. Segala dosa saya sebutkan di sini sambil memohon ampunan dan keridhaan-Nya.
Jamaah lain bermunajat dengan beragam cara. Ada yang menempelkan badannya ke Ka’bah sambil mengucap segala doa. Ada yang dari kejauhan mengangkat kedua tangannya sambil mengagungkan asma Allah.
Ada pula yang duduk berzikir memutar tasbih yang dipegang. Banyak cara.
Karena itulah Masjid al-Haram menjadi episentrum kehidupan Muslim. Banyak kekhasan di dalamnya. Ketenangan batin yang selama ini dicari dan obat kegelisahan ada di sana.
Semakin mendekati puncak haji, semakin banyak jamaah memadati al-Haram. Area Ka’bah penuh dengan petawaf yang terus berputar melawan arah jarum jam.
Di sana mereka membersihkan jiwa dari segala hal selain Allah, berharap atau bahkan berebut mendaptkan cahaya-Nya untuk disimpan di dalam kalbu, menerangi segala ruang di dalamnya, menjadi kesadaran yang menggerakkan mata melihat kebaikan, organ tubuh untuk berbuat demi pembangunan dan keumatan, dan lisan untuk menyampaikan hikmah. Luar biasa.
Tak heran bila Muslim yang sudah pernah umrah atau berhaji kembali mengunjungi Tanah Suci. Sekali saja terasa tak cukup.
Dua kali masih kurang juga. Terus saja mendatangi Ka’bah, tempat yang dibangun dan dijaga para nabi dan malaikat. Sulit rasanya untuk berjauhan, apalagi berpisah dari Ka’bah, seperti yang dirasakan Pak Anwar.