IHRAM.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami dari Jeddah, Arab Saudi
JEDDAH -- Ada seorang pria tua dengan baju koko warna cokelat muda pada sore hari itu di akhir Juli lalu di Bandara Amir Muhammad bin Abdulaziz, Madinah. Ia mengenakan juga celana dengan warna yang sama. Berdiri di tengah barisan menuju bus di luar gerbang Terminal Haji, ia dengan penasaran lekat menatapi saya yang berdiri mengamatinya.
Sembari tersenyum, tangannya kemudian ia sodorkan, saya sambut dan seketika ia tarik tubuh saya dan memeluk dengan kencang. Saya ia ciumi seperti kakek yang baru bertemu cucunya. “Xinjiang… Xinjiang…,” kata dia menerangkan asal daerah ia bertolak ke Madinah itu hari.
Saya tak mengerti Bahasa Mandarin yang terbata-bata ia ucapkan. Namun dari rautnya dan sekutip kata-kata yang ia keluarkan, sang kakek tersebut agaknya senang betul bertemu seorang Muslim dari negara lain.
Barisan rombongannya tak banyak. Saya kemudian beralih ke Syamsuddin, seorang petugas Komisi Haji Cina yang bertugas itu hari.
Dengan Bahasa Inggris yang fasih, ia menjelaskan, para Muslim dari Xinjiang senang betul tiba di Tanah Suci, karena tak seperti di Indonesia, Cina memilih jamaah yang boleh berangkat. Berangkat ke Tanah Suci seperti memenangkan undian bagi mereka.
Ia juga menjelaskan, Muslim dari etnis Uighur yang dipilih berangkat dari Xinjiang tak banyak. Ia kalah jauh dibandingkan jamaah dari kota-kota lain seperti Beijing, Yunnan, Ningxia, Gansu, dan Qinghai. Tahun ini menandai diperbolehkannya lagi Muslim Uighur berangkat ke Tanah Suci setelah sempat dilarang tahun lalu.
Jamaah haji asal Cina berhenti sejenak di Bir Ali, Madinah, guna membaca niat ihram dan shalat dua rakaat sebelum menuju Makkah, Kamis (26/7).
Total jamaah yang berangkat dari Cina tahun ini, kata Syamsuddin, sebanyak 11.500 orang dari 21 juta Muslim Cina. Saya menanyakan mengapa jumlah itu tak sesuai ketentuan satu per seribu komunitas Muslim negara tertentu yang disyaratkan Kerajaan Arab Saudi. Ia hanya mengangkat bahu.
Jamaah dari Uighur juga tak nampak menggunakan kartu pengenal dengan tali berwarna biru dan hijau seperti kelompok lain dari Cina yang pernah saya temui di Madinah. Ternyata, kata Syamsuddin, mereka memang dikecualikan dari mengenakan tanda pengenal yang juga diimbuhi mikrochip sebagai pemindai keberadaan tersebut.
Jamaah dari Cina hanya sebagian saja dari dua juta lebih dari seluruh dunia yang tiba di Tanah Suci tahun ini. Seperti yang berangkat dari Uighur, sebagian jamaah itu juga mengalami pembatasan di negeri masing-masing.
Pada Senin (6/8) misalnya, nampak ratusan jamaah dari Tajikistan tiba di Bandara King Abdulaziz, Jeddah. Dari jamaah sebanyak itu, tak satupun yang nampak masih berusia muda. Sebagian adalah perempuan-perempuan tua yang didorong menggunakan kursi roda. Lainnya menggunakan payung dan tongkat untuk menyangga tubuh.
Mereka seluruhnya datang dengan seragam serempak. Yang laki-laki berkain ihram, perempuannya dengan baju panjang dan celana panjang berwarna biru muda serta jilbab putih.
Penasaran, saya tanyakan hal itu kepada seorang jamaah. Ia mengklaim bernama Ruslan, dan datang dari ibu kota Tajikistan, Dushanbe. Dengan bahasa Inggris patah-patah, ia menjelaskan dari negara mereka hanya yang berusia di atas 40 tahun yang boleh berangkat haji.
“Kami pakai seragam karena negara ingin menunjukkan identitas Tajikistan,” kata dia.
Jamaah dari Maroko dan Tasjikistan mulai tiba di Bandara King Abdulaziz, Jeddah, Senin (6/8). Menjelang puncak haji, jamaah berbagai negara kian ramai datang melalui bandara tersebut.
Ia tak berani bercerita lebih. Terlebih soal kebijakan pemerintah Tajikistan terkini yang dianggap mencoba menghapuskan identitas Islam para Muslim yang sejauh ini menjadi mayoritas di negara pecahan Uni Soviet tersebut. Menurut dia, sedikitnya 6.000 jamaah diizinkan berangkat tahun ini.
Sejak 2016, tahun ini juga menandai kembali diperbolehkannya jamaah haji asal Iran melakukan ibadah haji. Sekitar 50 ribu jamaah dari negara tersebut secara bertahap datang ke Madinah dan Jeddah sejak akhir Juli lalu.
Jamaah perempuan negara tersebut nampak kerepotan harus memegangi chador, kain hitam lebar tak berjahit yang menutupi kepala hingga kaki, sembari membawa koper sendiri. Sementara para pria nampak necis dengan kemeja dan celana kain.
“Tentu saja kami rindu Makkah. Siapa yang tidak?” kata Hassan, seorang jamaah paruh baya yang mendaku sudah kedua kalinya berangkat ke Tanah Suci itu. Ia berangkat dari Isfahan dan tiba pada Senin (6/8) di Bandara Jeddah.