IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Dari tahun ke tahun, umat Islam dari nusantara tak henti berlayar ke Tanah Suci untuk berhaji. Di masa penjajahan kolonial Belanda pun, animo untuk beribadah ke Baitullah tak pernah surut.
Pada 1803, tiga jamaah haji asal Minangkabau mengembangkan gerakan Padri sekembali dari Tanah Suci. Tujuan utama gerakan ini adalah mengembangkan ajaran Islam yang lebih ortodoks untuk melawan praktik-praktik tradisional setempat. Pemerintah kolonial Belanda tak senang terhadap gerakan ini dan menilainya sebagai cikal bakal pemberontakan. Sejak saat itulah, Belanda mulai mengawasi kegiatan haji secara ketat.
Belanda takut kalau masyarakat pribumi yang menunaikan haji akan membawa pemikiran baru lalu mengembangkan gerakan untuk menentang kolonialisme. Berangkat dari ketakutan itu, pada 1825, Belanda mengeluarkan berbagai peraturan haji, salah satunya disebut ordonansi. Peraturan ini membuat ongkos naik haji sangat tinggi. Belanda menuntut para calon haji untuk memperoleh paspor dan membajar pajak sebesar 110 gulden. Aturan tersebut juga memungkinkan pemerintah Belanda mengawasi aktivitas para pribumi selama bermukim di Makkah.
Pada saat yang sama, Pemerintah Belanda juga berusaha memonopoli angkutan haji. Sebelumnya, hak untuk mengangkut jamaah haji Indonesia (saat itu disebut Hindia Belanda) dipegang oleh pemilik-pemilik kapal Arab dan Inggris. Ketika itu, Inggris ikut dalam bisnis pengangkutan haji nusantara karena melihat potensinya yang besar. Pada masa ini, pengangkutan jamaah haji tak lagi menggunakan kapal layar namun kapal api yang lebih canggih.
Melihat perkembangan ini, Pemerintah Belanda ikut ambil bagian dalam angkutan haji dengan memberikan izin monopoli pengangkutan kepada kongsi tiga, yaitu Rotterdamsche Llyod, Stoomvaartmatschappij Nederland, dan Stoomvaartmatschappi Oceaan pada 1873.
Pada 1874, Belanda juga memberlakukan kebijakan yang menyulitkan, yakni jamaah haji diharuskan memiliki tiket pergi-pulang. Ketentuan ini mungkin menguntungkan karena menunjang sistem monopoli bagi perusahaan pengangkut haji. Sedangkan bagi pemerintah Hindia Belanda, ketentuan ini memudahkan kontrol mereka terhadap jamaah haji.
Dengan ketentuan tersebut, jamaah haji hanya diizinkan berangkat di sejumlah pelabuhan yang telah ditentukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Mereka yang berangkat dari Hindia Belanda membawa pas perjalanan ke Makkah yang ditandatangani oleh pegawai pangreh Praja dengan terlebih dahulu pergi ke sebuah pelabuhan embarkasi jamaah. Pas tersebut harus diserahkan untuk ditandatangani oleh seorang penguasa pelabuhan.
Setibanya di Pelabuhan Jeddah, terlebih dulu jamaah menghadap konsulat Belanda dengan menukarkan pas jalannya dengan pas izin tinggal selama musim haji. Setibanya kembali di Tanah Air, pas itu sekali lagi harus ditandatangani oleh penguasa-penguasa Belanda. Bahkan, pas perjalanan model tahun 1884 ini, tak hanya memuat keterangan tentang jenis kelamin, umur, dan tinggi badan, tetapi juga keterangan mengenai bentuk hidung, mulut, dan dagu, serta tentang apakah si pemilik pas berkumis, jenggot, atau lainnya.
Pulau Onrust
Pengawasan terhadap jamaah haji semakin menjadi-jadi ketika Belanda mengeluarkan aturan baru untuk mengumpulkan para calon haji dan mereka yang selesai berhaji di sebuah pulau bernama Onrust.
"Nama 'Onrust' diambil dari bahasa Belanda yang artinya 'Tidak Pernah Beristirahat' atau dalam bahasa Inggrisnya 'Unrest'," ujar wartawan senior sekaligus pemerhati sejarah Betawi, Alwi Shahab. Sebelum difungsikan sebagai tempat embarkasi dan karantina haji pada 1911 hingga 1933, pulau yang terletak di kawasan Kepulauan Seribu ini merupakan pangkalan Angkatan Laut Belanda. "Di pulau ini para tentara Belanda beraktivitas bongkar muat logistik perang," kata pria yang akrab disapa Abah Alwi ini.
Dibuatnya embarkasi dan karantina haji ini sejatinya merupakan taktik Belanda untuk menekan pengaruh ulama-ulama pada masa itu. Namun Belanda berdalih, kegiatan tersebut bertujuan untuk memastikan kondisi kesehatan para calon haji agar bisa tetap sehat selama melakukan perjalanan ke Tanah Suci. Pada saat itu, perjalanan ke Makkah setidaknya membutuhkan waktu dua hingga enam bulan.
Pulau Onrust tak hanya menampung mereka yang hendak berangkat haji. Para jamaah yang baru selesai berhaji pun ditampung di sana. Kata Pemerintah Belanda, hal itu untuk memastikan bahwa mereka tidak membawa penyakit yang berasal dari negara lain dan menularkannya di dalam negeri.
"Dulu ceritanya ada sekitar 3.000 jamaah haji yang dikarantina sebelum pulang kampung, karena ditakuti mereka menularkan penyakit pes. Penyakit tersebut berasal dari beras Myanmar yang dimakan oleh jamaah haji," kata Abah Alwi.
Bahkan, Belanda mengklaim, pada 1927 tercatat sekitar delapan persen jamaah haji terjangkit penyakit kolera. "Sayangnya jamaah yang meninggal tidak dikuburkan menghadap kiblat.'' Jamaah haji yang meninggal selama masa karantina dimakamkan di Pulau Sakit yang kini bernama Pulau Bidadari. Ada pula yang dimakamkan di Pulau Kelor.
Pulau Onrust memiliki 35 barak penampungan haji dengan kapasitas 100 orang setiap baraknya. Berapa lama tinggal di barak itu tergantung dari jenis penyakitnya. Minimal mereka harus tinggal di tempat tersebut selama lima hari sebelum akhirnya dibolehkan kembali ke tempat asalnya. Mereka yang tidak sakit pun arus menunggu yang sakit untuk kemudian dapat pulang kampung bersama-sama.
Hingga saat ini sisa-sisa bangunan karantina haji masih ada, walau tidak utuh lagi. Jangan bayangkan, bangunan itu merupakan sebuah tempat yang layak dihuni oleh orang-orang yang hendak atau telah berhaji. Sebagian kalangan bahkan menyebut, bangunan itu sangat mirip dengan penjara atau kamp konsentrasi. Selain di Pulau Onrust, barak-barak karantina juga terdapat di Pulau Cipir. Namun, pusatnya tetap di Pulau Onrust.