Rabu 15 Aug 2018 15:23 WIB

Menerapkan Islam Wasathiyah dalam Fikih Haji

Tidak semua rangkaian perjalanan haji Nabi hukumnya wajib.

Rep: Muhyiddin/ Red: Ani Nursalikah
  Jamaah haji berjalan kaki di jalan layang Jalan King Abdul Aziz menuju arah jamarat di Mina untuk menjalani sunah Tarwiyah, Rabu (1/10) malam waktu Arab Saudi. (Republika/Zaky Al HAmzah)
Jamaah haji berjalan kaki di jalan layang Jalan King Abdul Aziz menuju arah jamarat di Mina untuk menjalani sunah Tarwiyah, Rabu (1/10) malam waktu Arab Saudi. (Republika/Zaky Al HAmzah)

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum PP Persis, Ustaz Jeje Zaenudin, mengatakan, inti dari konsep wasathiyah Islam secara umum adalah jalan tengah antara dua kutub pemikiran, baik dalam aspek akidah maupun aspek fikih. Menurut dia, manhaj wasathiyah, metode moderat atau jalan tengah Islam yang belakangan ini sedang gencar dipromosikan telah ada contoh praktisnya dalam tataran fikih haji.

"Dalam fikih haji, konsep wasathiyah ini untuk mendamaikan benturan antara idealisme pengamalan ritual haji yang benar-benar napak tilas perjalanan haji nabi secara persis dengan fakta lapangannya yang sudah jauh berubah dan berisiko," ujar Ustaz Jeje dalam keterangan tertulisnya yang diterima Republika.co.id, Rabu (15/8).

Dia menuturkan, spirit idealisme dan heroisme dalam ibadah haji terkadang mendorong jamaah mengambil risiko tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan. Bahkan, jamaah ikhlas mati demi mendapat keutamaan pelaksanaan manasik yang lebih dekat kepada napak tilas Rasulullah. Jamaah meyakini, mati pun akan bernilai syahid di jalan Allah.

"Pemikiran seperti itu tentu tidak bisa diingkari atas dasar kecintaan terhadap sunah Rasulullah. Tetapi, pemikiran itu pun tidak sepenuhnya benar secara fikih dan tidak bisa diakomodasi oleh negara," ucapnya.

photo
Jamaah haji Indonesia yang akan melakukan haji tarwiyah.

Menurut dia, tidak semua rangkaian perjalanan haji Nabi itu hukumnya wajib, tetapi ada yang dikategorikan rukun, wajib, sunah, afdhaliyah, bahkan ada yang mubah saja. Sementara, negara bertanggung jawab atas keselamatan warganya dalam beribadah dengan tetap menjamin hak dan kebebasan mengamalkan paham yang diyakininya.

Dari benturan antara dua kepentingan yang berbeda itulah, solusinya harus melahirkan regulasi yang bijak yang sejalan dengan prinsip-prinsip ijtihad fikih moderat yang bisa dikatakan sebagai implementasi konsep wasathiyah Islam dalam fikih haji.

"Maka, kebijakan dan regulasi yang melewatkan ibadah yang hukumnya sunah ataupun afdhaliyat demi melindungi kemaslahatan yang lebih besar adalah dibenarkan sebagai salah satu implementasi konsep wasatiyah Islam dalam fikih haji," kata Ustaz Jeje.

Dia mencontohkan, kebijakan Pemerintah Saudi yang melewatkan ritual mabit di Mina pada hari Tarwiyah. Rute resmi perjalanan haji bagi jamaah haji Indonesia itu hukumnya dianggap sunah saja bukan rukun atau wajib haji. Hal ini untuk menghindari problem kesulitan yang terjadi jika seluruh jamaah melakukannya.

Namun, Pemerintah Saudi tetap memberi izin dan membantu pelayanan jamaah yang berkeyakinan wajib serta hendak melakukannya, meski waktu keberangkatannya tidak bisa sama persis dengan apa yang dipraktikkan Nabi SAW. "Kebijakan itu cukup realistis, moderat, dan tidak melanggar hukum fikih. Tetapi, lain halnya jika kebijakan itu sudah sampai pada tahap melarang secara permanen dan tidak mengakomodasi pendapat yang lain, maka ia telah keluar dari manhaj wasathiyah," jelas Ustaz Jeje.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement