Kamis 23 Aug 2018 00:51 WIB

Perang Kolosal di Jamarat

Kelompok jamaah dari Indonesia bergerak dengan langkah terukur.

Perjalanan jamaah haji dari maktab masing-masing, melewati terowongan Mina hingga melontar jumrah, Ahad (3/9).
Foto: Republika/Ani Nursalikah
Perjalanan jamaah haji dari maktab masing-masing, melewati terowongan Mina hingga melontar jumrah, Ahad (3/9).

Laporan Wartawan Republika.co.id, Fitriyan Zamzami dari Makkah, Arab Saudi.

IHRAM.CO.ID, Gerakan akbar itu bermula dari riak-riak kecil. Dari Muzdalifah, masing-masing negara menyiapkan kelompoknya. Ribuan dari Thailand duduk dalam diam, sebagian shalat dan mengumpulkan batu.

Warga Turki, Iran, dan Pakistan sudah mulai bergerak berjalan kaki sebelum tengah malam Senin (21/8) tiba. Dalam barisan yang bergerak cepat itu, mereka memulai langkah menuju Mina, nun 7,5 kilometer ke arah Barat Laut.

Bendera masing-masing kelompok dikibarkan pemandu. Anggota tak berhenti mendaraskan talbiyah. Sebagian lainnya menggemakan takbiran seturut masuknya hari Idul Adha sejak Maghrib itu.

Jalan-jalan selebar sepuluh meter dari sisi ke sisi sedikit demi sedikit jadi sesak oleh kelompok-kelompok yang datang dari berbagai arah. Jalan layang dari beton bergoncang oleh langkah jamaah. Pemandangannya kian mirip dengan adegan-adegan menjelang perang kolosal di film-film.

photo
Jamaah haji melempar jumrah di Jamarat, Mina, Selasa (21/8)

Masing-masing jamaah yang sudah melengkapi diri dengan amunisi masing-masing. Puluhan batu kerikil yang dikumpulkan sebelumnya. Mereka masih berseraham pakaian ihram yang belum lepas sejak wukuf di Arafah pada siang harinya.

Sementara di jalan raya, bus-bus yang membawa jamaah lainnya juga berbaris mengular seakan tak berkesudaha. Bus itu membawa jamaah ke maktab masing-masing sebelum bergabung dalam rombongan besar menuju Mina.

Kian dekat ke ujung Mina, selepas tenggah malam, gerombolan kian intens. Di pintu terowongan menuju Mina, sebagian nampak tergesa-gesa. Seperti pasukan elite, pria-pria dari Afrika dan Pakistan dengan badan-badan tegap mereka setengah berlari memotong kerumunan. “Takbir! Allahu Akbar! Takbir! Allahu Akbar!” teriak pimpinan rombongan tersebut.

Kelompok-kelompok dari Indonesia bergerak dengan langkah terukur. Bergerak perlahan saling menjaga anggota kelompok. Para perempuannya ditaruh di depan dan di tengah barisan. Mereka kerumunan-kerumunan yang mengundang simpati dari berbagai negara. Tak ada yang berani mengusik.

“Indunisiyah… Baguuus!” teriak seorang askar Arab Saudi. “I love Indonesia,” kata seorang jamaah Bangladesh. Dengan jumlah yang sebegitu banyak, banyak jamaah negara lain jadi paham dengan tabiat manis orang Indonesia.

Saat terowongan pertama lewat, beberapa jamaah mulai berjatuhan. Seorang pria Yaman nampak mencoba merayu ibundanya yang kelelahan untuk meneruskan perjalanan. Beberapa jamaah Indonesia yang sudah lanjut usia nampak terduduk. “Masak sudah sampai sini enggak balang (melontar jumrah),” ujar seorang jamaah perempuan lanjut usia dari Subang yang terduduk lemas di depan pintu terowongan.

photo
Jamaah melewati terowongan King Fadh, Mina, Senin (12/9) yang menjadi titik keluar-masuk Mina untuk lempar jumrah. (Republika/Didi Purwadi)

Nunik Suryati (80 tahun) dari Kloter 38 Embarkasi Solo salah satu yang bertekad sampai meski harus didorong dengan kursi roda karena mengidap pembengkakan jantung. Ia didorong bergantian oleh putra pertama dan putra ketiganya sepanjang ibadah haji ini. "Alhamdulillah saya diberi anak-anak yang saleh," kata dia.

Raut kelegaan nampak jelas di wajah para jamaah selepas 3,5 kilometer berjalan melewati terowongan menuju jamarat. Akhirnya mereka bertatap muka dengan musuh sesungguhnya yang disimbolkan tiga pilar raksasa berbentuk perahu. Peperangan segera dimulai.

Sehubungan keperluan hari itu, pilar pertama dilewati begitu saja. Pilar kedua juga tak disinggahi. Dan di pilar ketiga kemarahan dilampiaskan. Satu batu diambil, tangan kanan ditarik ke belakang, “Bismillahi Allahu Akbar!”, batu dilempar. Begitu terus diulangi hingga tujuh kali.

Jamaah yang sudah lemas berjalan tak sebegitu kuat melempar. Batu seperti dilontarkan saja ke tiang, yang penting kena. Sementara yang masih segar melempar dengan gairah sepenuh hati.

Riwayatnya, tiga pilar di Jamarat itu lokasi iblis muncul tiba-tiba ribuan tahun lalu. Ia mencoba merayu Nabi Ibrahim membatalkan tekadnya menyembelih Ismail seturut perintah Allah.

photo
Sekelompok peziarah Muslim membuat jalan mereka untuk melemparkan batu pilar, melambangkan rajam Setan, dalam sebuah ritual yang disebut

Pada pilar pertama, Ula, Nabi Ibrahim mengusir Iblis dengan lemparan batu. Pada pilar kedua demikian juga, meski iblis belum menyerah. Pada pilar ketiga, iblis kembali dilontar dan akhirnya menyerah dalam upayanya menggoda Ibrahim.

Artinya, banyak jamaah hari itu berpikir mereka sedang melempari setan meski secara simbolik. Namun ada seorang jamaah asal Makassar memberikan perspektif berbeda. “Kalau saya sebenarnya melempari diri sendiri. Melempar kejelekan-kejelekan diri sendiri,” kata Syafrudin, saat ditemui selepas melontar.

Ia menafsirkan pemandangan di Jamarat serupa perang akbar. Para jamaah bisa menang melawan setan itu hari, meski pada akhirnya masih ada perang besar yang menjelang. Perang besar yang menurut Rasulullah SAW adalah perang melawan nafsu manusia yang jadi bawaan masing-masing jamaah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement