Ada pemandangan haru melihat gaya dan sosok Ratna Sarumpaet dalam acara talk show Indonesia Lawyer Club (ILC) selasa malam silam. Sutradara film, penulis naskah, dan pemain teater tetap garang berapi, lugas, dan memukau. Tak ada tanda keraguan di mimiknya. Ratna tetap berani, tak ada beda semasa dia membela dan mementaskan ‘Marsinah’ di masa Orde Baru dahulu. Kala itu ikon Marsinah yang seorang buruh pabrik alroji di Sidoarjo yang mati disiksa usai demontrasi menuntut perbaikan nasib, dijadikannya sebagai ikon perlawanan terhadap rezim.
Ratna memang urat takutnya sudah lama habis. Dahulu, dia tenang-tenang saja ketika pementasannya Marsinah dibanyak kota dilarang dan dikepung tentara. Dia juga anteng-anteng saja, ketika pada suatu pagi di kawasan Ancol ditangkap aparat keamanan menjelang terjadinya aksi reformasi.
Kala itu, hanya kakaknya, Mutiara Sani, yang pagi itu gamang ketika saya telepon bila adiknya ditangkap tentara. Namun, sama dengan Ratna, Mutiara yang juga isteri penulis naskah film legendaris, Asrul Sani, terkesan tenang saja.’’Ya nanti saya jenguk. Terima kasih informasinya,’’ kata Mutiara Sani kala itu diujung telepon.
Nah, melihat Ratna yang bicara begitu berapi-api dalam acara ILC yang dipandu Karni Ilyas itu, maka gaya itu sama sekali tak terlihat pada sosok Ratna Sarumpaet ketika saya bertemu dia sesuai wukuf saat musim haji 2011. Sebelum menunaikan ibadah haji Ratna belum berjilbab. Antara dia dan saya sudah saling kenal karena kami terbiasa bertemu dalam acara pentas dan latihan teaternya yang dia beri nama 'Teater Satu Merah Panggung'. Namun permuan saat itu menjadi bermakna karena kami bertemu di sebuah supermarket bernama Bin Dawood di kawasan Sisyah, Makkah. Makin berartinya lagi pertemuan terjadi usai prosesi haji yakni wukuf, mabit, dan melempar jumrah.
Yang sampai sekarang terngiang adalah kata-kata Ratna:”Iam happy being Islam!’’. Mungkin tidak banyak orang tahu apa yang dikatakan itu karena saksinya tak ada. Ratna saat itu mengenakan jilbab putih. Saya menuntupi bagian wajah dan kepala dengan kain serban. Dia terkejut karena di tengah negeri asing ada yang memanggil namanya.’’Mbak Ratna apa kabar?,’’ tanyaku.
Ratna sesaat terlihat mengeriyatkan dahi kebingungan. Lalu dia berkata. “Buka serbanmu biar aku tahu,’’ tukasnya. Dan sesaat setelah dibuka dia pun tahu. Kami memang berdua kaget bisa bertemu di tempat asing ini. Bukan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, atau di rumahnya di kampung Melayu, tapi di kawasan negari padang pasir Saudi Arabia. Saking senangnya, saya kerap cerita soal pertemuan dengan Ratna Sarumpaet dengan awak teater Satu Merah Panggung asuhanya:yang saya angggil Mbak Bela!
Pertemuan dengan Ratna Sarumpaet di Mina usai melakukan prosesi wukuf dan melempar jumrah terbadikan dalam cahpter terakhir buku ‘Lelaki Buta Melihat Ka’bah’, yang diterbitkan Republika tahun 2012.
Buku Lelaki Buta Melihat Ka'nah
Saya bahagia berjumpa dengan dia meski saat itu perut terasa lapar sekali karena persediaan makanan di Swalayan Bin Dawood itu telah ludes. Dari pelayan toko asal Mesir, suasana toko sehabis puncak haji memang terlihat porak poranda. Rak bahan makanan serta barang kebutuhan hidup sehari-hari, ludes diserbu pembeli dari para jamaah haji yang kelaparan. Suasana toko sama sekali belum tertata.Beda dengan keadaan sewaktu hari biasa yang tertata rapi.
Begini tulisan saya terkait pertemuan dengan Ratna Sarumpaet di Mina delapan tahun silam. Tulisan ini bertajuk: Yang Bahagia Menjadi Muslim