Selasa 04 Sep 2018 05:01 WIB

Haji dan Politik Kekuasaan: Bruce Lee , Bruce Lee...!

Ternyata soal haji pasti bersenggolan dengan urusan politik kenegaraan.

Sejumlah petugas berseragam nampak mengawasi jamaah haji Cina di Bandara Kingabdulaziz, Jeddah, Kamis (30/1). Tanpa emblem kesatuan dan hanya dilengkapi badge bendera Cina, mereka mengawal para jamaah hingga ke pesawat.
Foto: Republika/Fitriyan Zamzami
Sejumlah petugas berseragam nampak mengawasi jamaah haji Cina di Bandara Kingabdulaziz, Jeddah, Kamis (30/1). Tanpa emblem kesatuan dan hanya dilengkapi badge bendera Cina, mereka mengawal para jamaah hingga ke pesawat.

Dari zaman dahulu haji kala memang selalu terkait dengan politik. Untuk Indonesia sudah jamak semenjak zaman kerajaan Nusantara. Begitu juga pada zaman kolonial. Di sana terbaca kelas betapa kadang haji dianggap ancaman karena terkait dengan politik. Ini misalnya adanya seleksi pada zaman Kolonial Belanda mana orang yang berhak disebut haji dan mana yang tidak. Bahkan sampai ada ujian khusus kepada para jamaah haji sewaktu akan pergi dan setelah pulang dari Makkah.

Tapi sudahlah. Di zaman perjuangan kemerdekaan dahulu ada fatwa dari KH Hasyim As'ari bahwa pada tahun itu haji tak boleh dilakukan karena keadaan negara genting. Di sisi lain, penguasa Arabia pun pada tahun 1920-an pernah menutup haji dari kawasan luar karena tersebarnya wabah penyakit akibat kholera yang meluas sampai Eropa.

Maka yang belum dikenal sekarang ke publik adalah 'istito'ah' politik dalam urusan haji. Sebab, ternyata urusan haji pasti bersenggolan dengan urusan politik kenegaraan dan lintas negara (internasional). Yang paling gampang, negara (penyuplai atau penerima jamaah haji) harus menjamin keselamatan perjalanan, tempat tinggal, hingga suplai makanan dan minuman. Bila ada perang dan bila dalam perjalanan haji tak aman, ibadah haji bisa ditutup. Yang menyatakannya hal itu adalah penguasa atau pemerintah negara yang bersangkutan.

photo
Tenda penginapan jamaah haji di sekitar Makkah

Ya memang, kerapkali mau tidak mau persaingan politik di sebuah negara terbawa dalam penyelenggaraan ibadah haji di Makkah atau Madinah. Pada masa kini, yakni di musim pilkada sewaktu wukuf di Arafah jamak ditemukan berbagai spanduk ucapan selamat dari kepala daerah di tenda jamaah dari daerah tertentu. Ucapan dalam spanduk memang biasa saja, tapi di rasa di sana teraba bahwa daerah tersebut akan selenggarakan pilkada. Pejawat kepada daerah akan maju kembali.

Pada sekarang ini pun sama. Tagar yang kini fenomenal dalam jagat politik tanah air terlihat di tengah suasana penyelenggaraan ibadah haji. Hal ini mulai dari hiruk pikuk bentangan spanduk, pemasangan stiker tagar pada kemasan air zamzam jamaah haji Furodah, atau hingga ada semacam bendera yang bertuliskan tagar pada prosesi haji melempar jumrah di Mina.

photo
Jamaah haji mendapat paket air Zamzam berstrikeri tagar #2019GantiPresiden di Bandara Jeddah.

Maka soal haji terbukti tak bisa 'nirpolitis'. Apalagi, fakta terlanjut menyatakan, sudah jamak para calon peserta calon pemilihan pemimpin di Indonesia selalu berkunjung ke tanah haji demi untuk menjaga imej di mata umat Islam dalam bentuk kunjungan ke tanah suci baik untuk umrah maupun berhaji.

-

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement