Rabu 12 Sep 2018 11:13 WIB

Pembiayaan Haji Khusus tak Pakai Dolar AS

Ziarah dan bepergian ke luar negeri tak hanya dilakukan oleh umat Islam.

Rep: muhammad subarkah/ Red: Muhammad Subarkah
Para pedagang kambing di pasar di wilayah Kakiyah, selatan Makkah, mulai didatangi jamaah haji. Jamaah yang melaksanakan haji tamattu' datang membeli kambing untuk pembayaran dam haji.
Foto: Republika/Pryantono Oemar
Para pedagang kambing di pasar di wilayah Kakiyah, selatan Makkah, mulai didatangi jamaah haji. Jamaah yang melaksanakan haji tamattu' datang membeli kambing untuk pembayaran dam haji.

IHRAM.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Umum Himpuh, Muharom Ahmad, mengatakan, tidak paham betul dengan polemik mengenai kenaikan kurs dolar terhadap rupiah akibat dari penyelenggaraan haji. Apalagi, secara nyata pihak para penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) tidak pernah menenteng-nenteng dolar ke Arab Saudi. Selain itu, dari zaman dahulu meski ada orang pergi haji, dolar tetap saja naik dan turun nilainya.

"Sebenarnya terkait kepastian hubungan kenaikkan dolar dan jamaah haji di Indonesia, biarlah Pak Anggito Abimanyu yang paling tepat untuk menjawabnya. Beliau adalah ahli ekonomi sekaligus ketua Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Kalau soal kenaikkan kurs dolar terhadap rupiah ditanyakan kepada kami, maka hanya sesederhana ini kami bisa menjawabnya,’’ kata Muharom, di Jakarta, Rabu (12/9).

Muharom mengatakan, selama ini seluruh pembayaran operasional layanan kepada jamaah haji oleh PIHK tidak ada yang pakai dolar. Semua pakai mata uang rupiah dan riyal. Dan, transaksinya pun melalui pembayaran antarbank yang jelas di bawah pengawasan otoritas negara.

"Biaya tiket pesawat pun kami bayar pakai rupiah lewat bank. Layanan yang pakai valuta asing cuma riyal, yakni untuk membayar angkutan di Arab Saudi, katering, layanan di Arafah dan Mina, dan membayar hotel untuk jamaah. Kami membayar pakai riyal pun karena menaati aturan Pemerintah Arab Saudi. Kami tidak pernah menenteng-nenteng dolar ke Arab sebab pasti akan ketahuan oleh pihak imigrasi,’’ ujarnya lagi.

Pada prinsipnya, lanjut Muharam, pihaknya bingung ketika adanya haji menjadi penyebab kenaikan nilai kurs rupiah terhadap dolar. Apalagi, pihaknya adalah orang awam yang mengalami langsung bila adanya kenaikan nilai kurs dolar juga akan berimbas pada bisnisnya. Akibatnya, kalau semua itu dikatakan karena harus mengacu pada nilai kurs dolar, pihaknya tak tahu persis apa yang sebenarnya tengah terjadi karena sudah menaati semua aturan yang terkait.

’’Apa karena dolar naik nilainya terhadap rupiah akan disetop ibadah haji? Yang saya tahu kenaikan dolar ini imbas dari negara yang harus membayar beban utangnya dan tidak adanya devisa yang masuk. Selain itu, ada juga faktor krisis ekonomi global yang sifatnya eksternal,” ungkapnya lagi.

Dia mengatakan, lagi pula devisa atau pembiayaan haji seluruhnya hanya sekitar Rp 10 triliun per tahun. Jadi, tidak ada apa-apanya dengan beban cicilan pembayaran bunga utang negara yang lebih dari Rp 400 triliunan yang harus dibayar atau jatuh tempo itu.

’’Jadi, saya rasa tidak tepat bila haji dianggap sebagai biang keladi kenaikan kurs rupiah. Apalagi, ziarah dan bepergian ke luar negeri tak hanya dilakukan oleh umat Islam. Pertanyaannya, mengapa haji dan usaha kami yang disasar biang dari kenaikan kurs rupiah terhadap dolar itu,’’ katanya menandaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement