Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Tak terasa, sudah 40 tahun silam terjadinya aksi penyerbuan Masjidil Haram. Tepatnya terjadi pada 1 Muharam 1400 H atau 20 November 1979. Aksi kekerasan ini menyebabkan 100 orang tewas. Tank dan tentara kala itu menyerbu masuk kawasan Masjid al-Haram. Dalam beberapa hari Masjidil Haram lumpuh (sekitar 10 hari).
Mengenang peristiwa itu adakah orang Indonesia ada yang menjadi saksi peristiwa itu? Dan juga apa saja tradisi orang Arab dalam berkonflik, terutama memperebutkan pasokan air dan pembagian air Zamzam di Makkah.
Untuk jawabannya, baiklah diurut dari jawaban atas pertanyaan kedua dulu, yakni soal pembagian air bagi orang gurun Arabia dan khususnya lagi soal pembagian air zamzam serta 'air biasa' di Makkah.
Semua tahu, ada yang lebih berharga dari emas ketika ada berada di kawasan gurun pasir? Jawabnya, tak lain dan tak bukan adalah air bersih. Orang masih bisa bertahan beberapa pekan tanpa makanan, tapi tanpa mendapat asupan air, maka nyawanya akan terputus hanya dalam waktu tak lebih dari tiga hari. Hanya unta yang bisa bertahan tanpa air dalam waktu yang lama dengan mengandalkan pasokan air yang ada di punuknya.
Semenjak masa kekhalifahan, para penguasa saat itu selalu dibuat pusing sekaligus ruwet untuk memastikan ketersediaan air pada hari biasa di Makkah atau hingga selama musim haji. Bahkan, mereka mengirimkan pasukan dan petugas khusus untuk menjaga pengamanan suplai air kepada para peziarah yang akan ke Makkah. Berbagai proyek infatruktur juga mereka bangun untuk memenuhi ancaman ketiadaan air bersih.
Mengapa sampai sebegitu ketat pengawasannya? Jawabnya, karena baik di rumah --apalagi di tengah perjalanan-- hidup dan mengarungi padang pasir kerap terjadi perkelahian yang dipicu karena ketiadaan air. Tak hanya rebutan dengan adu mulut atau perkelahian biasa, kerap juga menjadi ajang tarung fisik memakai senjata yang berakibat terengutnya nyawa.
Saat itulah harga air lebih mahal nilainya dari emas. Untuk itu, semenjak awal orang yang tinggal di gurun pasir, terutama nagi kafilah haji yang akan mengarungi area padang pasir--harus memastikan dirinya dan para jamaahnya tidak kehabisan air di tengah jalan. Kalau sampai terjadi, akan muncul kejadian yang fatal!
Bagi warga dan mereka yang tinggal di Makkah, persoalan air di sana baru mulai terselesaikan pada awal 1980-an. Saat itu, sudah muncul proyek pengadaan air melalui penyulingan air laut. Pada saat yang sama, sumur zamzam pun diperbaiki dan diatur penggunaannya.
Sebelum masa itu, air selalu jadi masalah di Makkah, khususnya di Masjidil Haram. Selama ini air zamzam bagi penduduk Makkah hanya dipakai untuk keperluan rumah tangga, yakni memasak makanan dan minum. Selain itu, keperluan air dipasok dari saluran air ‘Zubaedah’, saluran air yang dibangun oleh istri Khalifah Harun al-Rasyid.
Sisa bangunan saluran air Zubaedah. Sarulan air ini memanjang dari Thaif ke Makkah di antaranya melewati kawasan pinggiran Arafah. (wikipedia)
Salah satu saksi hidup dari persoalan pemenuhan kebutuhan air di Makkah dari Indonesia adalah Baluki Ahmad yang kini menjadi Ketua Umum Himpuh (Himpunan Pengusaha Haji Umrah). Kala itu, dia masih belia dan tinggal di Makkah. Tak hanya itu, dia juga mengalami langsung soal pemenuhan kebutuhan air dan penyerbuan Masjidil Haram. Dia menceritalan kisahnya dalam dua bagian, yakni tentang pembagian air bersih di Makkah dan penyerbuan Masjidil Haram itu.
"Untuk pemenuhan air bersih kala itu dialirkan dari air yang berasal dari Thaif. Meski begitu, ketersediaan air sampai tahun 1980-an, masih tetap saja susah,’’ kata Ketua Umum Himpuh, Ahmad Baluki.
Baluki mengatakan, sisa bangunan ‘saluran air Zubaedah’ kini memang masih terlihat. Dahulu saluran ini memanjang sekitar 40 kilometer dari perbukitan Thaif ke Makkah, melalui Padang Arafah. Jadi, selain untuk mencukupi kebutuhan air bersih di Makkah, air ini juga dipakai untuk mencukupi pasokan air bagi para jamaah yang tengah melaksanakan ibadah wukuf.
Perlakuan warga Makkah atas air pasokan dari Thaif ini berbeda sekali dengan sikap mereka terhadap air zamzam. Baluki mengatakan, mereka sangat memuliakan air zamzam. Ini tecermin dari penggunaan air zamzam yang hanya dipakai untuk keperluan minum dan wudhu.
‘’Di luar itu, pemenuhan kebutuhan air bagi warga Makkah, diambil dari pasokan air Zubaidah. Uniknya, air asal Thaif dan Zubaidah memang beda rasanya dan tak pernah bisa bercampur. Bila dibandingkan, air Zubaidah terasa lebih manis daripada air zamzam,’’ katanya.
Kala itu, lanjut Baluki, dari zaman dahulu kala, air zamzam diambil dengan cara ditimba. Mereka yang melakukannya adalah orang-orang yang berasal dari Yaman. Setelah ditimba, air dimasukkan ke dalam ‘zurak’ (kendi). Kendi itu kemudian mereka bawa keliling untuk ditawarkan kepada para jamaah Masjidil Haram dengan mengharap imbalan berupa uang untuk ganti jasa membawa dan menimbanya di sumur zamzam.
‘’Jadi, untuk minum air zamzam berbeda dengan sekarang. Sampai tahun 1980-an, yakni sebelum ada pengeboran dan renovasi sumur zamzam, orang-orang Yaman itu menawarkan minum air zamzam sembari membawa ‘zurak’. Bila ada yang mau, maka mereka menuangkan ke dalam gelas, sembari meminta sumbangan seikhlasnya (1-5 riyal) dengan alasan ganti tenaga untuk menimba air. Jadi, masih sangat tidak teratur seperti sekarang,’’ kata Baluki.
Memang sempat ada kekhawatiran ketika Pemerintah Kerajaan Arab Saudi merenovasi sumur zamzam. Menurut Baluki, banyak orang yang khawatir bila dipompa atau bahkan dibor hingga kedalaman 300 meter, mata air yang ada di sumur peninggalan Siti Hajar itu akan berhenti mengalir. Tapi, kenyataan ini tak terbukti, air sumur zamzam tetap melimpah sampai sekarang.
‘’Makkah adalah semacam lembah. Belakangan ada gambar citra satelit bahwa pasokan air untuk mata air zamzam itu berasal dari berbagai bukit yang ada di sekitarnya, bahkan ada semacam ‘saluran alami yang terkoneksi dengan mata air yang ada di Thaif. Jadi, sumur zamzam semacam 'tampon' (wadah air). Namun anehnya, meski begitu, rasa air zamzam tetap berbeda dan tak bisa bercampur dengan air lainnya,’’ ujarnya.
Tak hanya untuk mencukupi kebutuhan air minum jamaah yang ada di Masjidil Haram, air zamzam juga kini dipasok untuk memenuhi kebutuhan minum jamaah yang berada di Masjid Madinah. Di hari biasa, pasokan air zamzam yang di bawa ke Makkah diangkut memakai 50 truk tangki ke Madinah. Jumlah ini akan berlipat minimal sebanyak tiga kali lipat sewaktu musim Ramadhan dan haji tiba.
‘’Pernah ada yang berpikir air zamzam dipasok dari Makkah ke Madinah melalui jaringan pipa. Tapi, sampai sekarang sepertinya belum dilakukan. Pasokan ke air zamzam ke Madinah masih menggunakan truk tangki,’’ ungkap Baluki.